Tokoh-Tokoh Ahli Tafsir
§ Syu’bah bin Al-Hajjaj
§ Sufyan bin Uyaynah
§ Wali bin Al-Jarrah
§ Ibn Jarir At-Thabari
§ Jalaluddin Al-Bulqini
§ Jalaluddin As-Suyuthi
§ Abdullah bin Abbas
§ Mujahid bin Jabr
§ At-Thobari
§ Ibnu Katsir
§ Fakhruddin Ar-Rozi dan lain-lain.
Di antara para mufasir terpopuler di kalangan sahabat Nabi adalah empat kholifah, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa Al-Asy’ari dan Abdullah bin Az-Zubair.
Sedangkan pada abad ke-II H, maka para ulama memberikan prioritas atas penyusunan tafsir. Di antaranya Syu’bah bin Al-Hajjaj, Sufyan bin Uyainah, dan Waki’ bin Al-Jarroh.
Pada abad ke-III H di antara ulama mulai menyusun beberapa ilmu Al-Qur’an, ialah: Ali bin Al-Madini (menyusun ilmu asbabun nuzul), Abu Ubaid Al-Qosim bin Salam (menyusun ilmu nasikh wal mansukh dan ilmu qiroat) dan Muhammad bin Ayyub Al-Dhirris (menyusun kitab Al-Hawi Fi Ulumil Qur’an).
Pada abad ke-IV H di antara ulama mulai menyusun ilmu Ghoribul Qur’an dan Ulumul Qur’an, ialah: Abu Bakar Al-Sijistani, Abu Bakar Muhammad bin Al-Qosim Al-Anbari, Abul Hasan Al-Asy’ari, Abu Muhammad Al-Qossab Muhammad bin Ali Al-Karakhi dan Muhammad bin Ali Al-Adwafi.
Pada abad ke-V H mulai disusun ilmu I’robil Qur’an dan masih terus menulis Ulumul Qur’an, ialah: Ali bin Ibrahim bin Sa’id Al-Khuffi dan Abu ‘Amr Al-Dani.
Pada abad ke-VI H, di samping terdapat ulama yang meneruskan pengembangan Ulumul Qur’an, juga terdapat ulama yang mulai menyusun ilmu Mubhamatil Qur’an, mereka itu antara lain ialah: Abul Qosim, Abdurrahman Al-Suhaili dan Ibnul Jauzi.
Pada abad ke-VII H, ilmu-ilmu Al-Qur’an terus berkembang dengan mulai tersusunnya ilmu Majazul Qur’an dan ilmu Qiro’at, di antaranya: Ibnu Abdissalam, Allamuddin Al-Sakhowi dan Abu Syama.
Pada abad ke-VIII H, muncullah beberapa ulama yang menyusun ilmu-ilmu baru, di antaranya: Ibnu Abil Isba’ (menyusun ilmu Badai’ul Qur’an), Ibnu Qoyyim (menyusun ilmu Aqsamil Qur’an), Najmuddin Al-Thufi (menyusun ilmu Hujajil Qur’an atau ilmu Jadadil Qur’an), Abul Hasan Al-Mawardi (menyusun ilmu Amtsalil Qur’an) dan Badruddin Al-Zarkasi (menyusun kitab Al-Burhan Fi Ulumil Qur’an)
Pada abad ke-IX dan X H, perkembangan Ulumul Qur’an mencapai kesempurnaannya. Di antara ulama yang menyusun Ulumul Qur’an: Jalaluddin Al-Bulqimi, Muhammad bin Sulaiman Al-Kafiaji dan Suyuti.
Pada abad ke-XIV H, telah bangkit kembali perhatian ulama menyusun kitab-kitab yang membahas Al-Qur’an dari berbagai segi, di antaranya: Thohir Al-Jazairi, Jalaluddin Al-Qoim, Muhammad Abdu Adzim Az-Zarqoni, Muhammad Ali Salamah, Thanthowi Jauhari, Muhammad Shodiq Al-Rofi’i, Musthofa Al-Maragi dan lain-lain.
MATERI ULUMUL QUR’AN
A. Ulumul Qur’an
1. Pengertian Ulumul Qur’an dan lingkup pembahasannya
a. Pengertian Ulumul Qur’an
Secara etimologi, kata Ulumul Qur’an berasal dari Bahasa Arab yang terdiri dari dua kata, yaitu “ulum” dan “Al-Qur’an”. Kata ulum adalah bentuk jama’ dari kata “ilmu” yang berarti ilmu-ilmu. Kata ulum yang disandarkan kepada kata Al-Qur’an telah memberikan pengertian bahwa ilmu ini merupakan kumpulan sejumlah ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur’an, baik dari segi keberadaannya sebagai Al-Qur’an maupun segi pemahaman terhadap petunjuk yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian, Ilmu Tafsir, Ilmu Qira’at, Ilmu Rasmil Qur’an, Ilmu I’jazil Qur’an, Ilmu Asbabun Nuzul dan ilmu-ilmu yang ada kaitannya dengan Al-Qur’an menjadi bagian dari Ulumul Qur’an.
Sedangkan menurut terminologi terdapat berbagai definisi yang dimaksud dengan Ulumul Qur’an antara lain :
1) Assuyuthi dalam kitab Itmam Al-Dirayah mengatakan :
علم يبحث فيه عن احوال الكتاب العزيز من جهة نزوله وسنده وادابه الفاظه ومعانيه
المتعلقة بالاحكام وغير ذالك.
المتعلقة بالاحكام وغير ذالك.
Artinya: “Ilmu yang membahas tentang keadaan Al-Qur’an dari segi turunnya, sanadnya, adabnya, makna-maknanya, baik yang berhubungan lafadh-lafadhnya maupun yang berhubungan dengan hukum-hukumnya, dan sebagainya.”
2) Al-Zarqany memberikan definisi sebagai berikut :
مباحث تتعلق بالقران الكريم من ناحية نزوله وترتيبه وجمعه وكابته وقراءته وتفسيره واعجازه وناسخه ومنسوخه ودفع الشبه عنه ونحو ذالك.
Artinya: “Beberapa pembahasan yang berhubungan dengan Al-Qur’an Al-Karim dari segi turunnya, urutannya, pengumpulannya, penulisannya, bacaannya, penafsirannya, kemu’jizatannya, nasikh mansukhnya, penolakan hal-hal yang bisa menimbulkan keraguan terhadapnya dan sebagainya.”
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa Ulumul Qur’an adalah ilmu yang membahas hal-hal yang berhubungan dengan Al-Qur’an, baik dari aspek keberadaannya sebagai Al-Qur’an maupun aspek pemahaman kandungannya sebagai pedoman dan petunjuk bagi manusia atau ilmu-ilmu yang berhubungan dengan berbagai aspek yang terkait dengan keperluan membahas Al-Qur’an.
b. Ruang lingkup pembahasan Al-Qur’an
Ulumul Qur’an merupakan suatu ilmu yang mempunyai ruang lingkup pembahasan yang luas. Ulumul Qur’an meliputi semua ilmu yang ada kaitannya dengan Al-Qur’an, baik berupa ilmu-ilmu agama, seperti ilmu tafsir maupun ilmu-ilmu Bahasa Arab, seperti ilmu Balaghah dan ilmu I’rab Al-Qur’an.
Di samping itu, masih banyak lagi ilmu-ilmu yang tercakup di dalamnya. Dalam kitab Al-Itqan, Assuyuthi menguraikan sebanyak 80 cabang ilmu. Dari tiap-tiap cabang terdapat beberapa macam cabang ilmu lagi. Kemudian dia mengutip Abu Bakar Ibnu Al-Araby yang mengatakan bahwa Ulumul Qur’an terdiri dari 77450 ilmu. Hal ini didasarkan kepada jumlah kata yang terdapat dalam Al-Qur’an dengan dikalikan empat. Sebab, setiap kata Al-Qur’an mengandung makna dhohir, batin, terbatas dan tidak terbatas. Perhitungan ini masih dilihat dari sudut mufrodatnya. Adapun jika dilihat dari sudut hubungan kalimat-kalimatnya maka jumlahnya tidak terhitung. Firman Allah :
قل لو كان البحر مدادا لكلمت ربى لنفد البحر قبل تنفد كلمت ربى ولو جئنا بمثله مدادا.
Artinya: “Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).” (QS. Al-Kahfi: 109)
c. Pokok pembahasan
Secara garis besar ilmu Al-Qur’an terbagi dua pokok bahasan yaitu :
1) Ilmu yang berhubungan dengan riwayat semata-mata, seperti ilmu yang membahas tentang macam-macam qira’at, tempat turun ayat-ayat Al-Qur’an, waktu-waktu turunnya dan sebab-sebabnya.
2) Ilmu yang berhubungan dengan dirayah, yakni ilmu yang diperoleh dengan jalan penelaahan secara mendalam seperti memahami lafadh yang ghorib (asing) serta mengetahui makna ayat-ayat yang berhubungan dengan hukum.
Namun, Ash-Shidiqie memandang segala macam pembahasan Ulumul Qur’an itu kembali kepada beberapa pokok pembahasan saja, seperti :
§ Nuzul
Pembahasan ini menyangkut dengan ayat-ayat yang menunjukkan tempat dan waktu turunnya ayat Al-Qur’an, misalnya: makkiyah, madaniyyah, hadhariah, safariyah, nahariyah, lailiyah, syita’iyah, shaifiyah dan firasyiah. Pembahasan ini juga meliputi hal yang menyangkut asbabun nuzul dan sebagainya.
§ Sanad
Pembahasan ini meliputi hal-hal yang menyangkut sanad yang mutawatir, ahad, syadz, bentuk-bentuk qira’at Nabi, para periwayat dan para penghafal Al-Qur’an dan cara tahammul (penerimaan riwayat).
§ Ada’ Al-Qira’ah
Pembahasan ini menyangkut waqof, ibtida’, imalah, madd, takhfif hamzah, idghom dan lain-lain.
§ Pembahasan yang menyangkut lafadh Al-Qur’an, yaitu tentang gharib, mu’rab, majaz, musytarak, muradif, isti’arah dan tasybih.
§ Pembahasan makna Al-Qur’an yang berhubungan dengan hukum, yaitu ayat yang bermakna amm dan tetap dalam keumumannya, amm yang dimaksudkan khusus, amm yang dikhususkan oleh sunnah, nash, dhahir, mujmal, mufashal, manthuq, mafhum, mutlaq, muqayyad, muhkam, mutasyabih, musykil, nasikh mansukh, muqaddam, muakhar, ma’mul pada waktu tertentu dan ma’mul oleh seorang saja.
§ Pembahasan makna Al-Qur’an yang berhubungan dengan lafadh, yaitu fashl, washl, ijaz, ithnab, musawah dan qashr.
2. Hubungan dan orgensinya dengan tafsir Al-Qur’an
Al-Qur’an diturunkan dalam Bahasa Arab. Karena itu ada anggapan bahwa setiap orang yang mengerti Bahasa Arab mengerti isi Al-Qur’an. Lebih dari itu, ada orang yang merasa telah dapat memahami dan menafsirkan Al-Qur’an dengan bantuan terjemahannya sekalipun ia tidak mengerti Bahasa Arab. Anggapan seperti itu sebenarnya keliru. Sebab, banyak orang yang mengerti Bahasa Arab, tetapi tidak mengerti isi Al-Qur’an. Karena itu, tidak mengherankan bila Orang Arab sendiri banyak yang tidak mengerti kandungan Al-Qur’an. Bahkan di antara para sahabat dan tabi’in ada yang salah memahami Al-Qur’an, karena tidak memiliki instrumen untuk memahaminya, yaitu ilmu-ilmu Al-Qur’an.
Sebagaimana kita ketahui bahwa Ulumul Qur’an adalah ilmu yang mencakup pembahasan-pembahasan yang berhubungan dengan Al-Qur’an Al-Karim, dari segi pengetahuan tentang sebab-sebab turunnya, pengumpulan Al-Qur’an dan urut-urutannya, pengetahuan tentang ayat Makkiyyah dan Madaniyyah, dan hal-hal lain yang ada hubungannya dengan Al-Qur’an.
Sebelum membahas mengenai hubungan antara Ulumul Qur’an dengan tafsir, maka kita harus lebih dahulu mengemukakan hal-hal yang berhubungan dengan tafsir.
Kata tafsir, diambil dari kata tafsirah, yaitu: perkakas yang dipergunakan tabib untuk mengetahui penyakit orang sakit. Hal ini dapat dimaksudkan bahwa tafsir adalah alat yang digunakan untuk mengetahui kandungan yang tersimpan dalam Al-Qur’an.
Menurut bahasa, tafsir berarti “menerangkan dan menyatakan”. Sedangkan menurut istilah, artinya adalah menerangkan ayat-ayat Al-Qur’an, baik menerangkan artinya, maksud yang terkandung di dalamnya atau pun mengenai kandungan isinya, baik dengan ketentuan yang jelas atau dengan isyarat.
Az-Zarkasyi dalam Al-Burhan berpendapat bahwa tafsir adalah menerangkan makna-makna Al-Qur’an dan mengeluarkan hukum-hukum dan hikmah-hikmahnya.
Sementara itu, kata Al-Jurjany bahwa tafsir pada asalnya ialah: “membuka dan melahirkan”. Pada istilah syara’ yaitu: menjelaskan makna ayat, urusannya, kisah dan sebab yang karenanya diturunkan ayat, dengan lafadh yang menunjuk kepadanya secara terang.
Untuk menjelaskan dan menafsirkan tentang ayat-ayat dalam Al-Qur’an seseorang harus mempunyai pengetahuan yang mantap tentang Ulumul Qur’an. Dengan demikian, maka antara Ulumul Qur’an dan tafsir mempunyai hubungan yang sangat erat sekali. Ulumul Qur’an amat menentukan bagi seseorang yang ingin menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an secara tepat dan dapat dipertanggungjawabkan. Bagi seorang mufassir, maka Ulumul Qur’an secara mutlak merupakan yang harus lebih dahulu dikuasainya, sebelum ia mulai memberikan tafsir terhadap ayat-ayat Al-Qur’an.
Seperti halnya dalam bidang Hadits, maka seorang Muhadits yang akan menerangkan Hadits memerlukan ilmu-ilmu Hadits. Demikian juga dalam tafsir, maka sebelum seorang Mufassir menerangkan dan menafsirkan Al-Qur’an, terlebih dahulu harus juga menguasai ilmu-ilmu tafsir, atau yang lazim disebut sebagai Ulumul Qur’an atau ilmu-ilmu Al-Qur’an.
Sudah barang tentu, di samping Ulumul Qur’an sebagai pokok maka juga diperlukan ilmu-ilmu lain sebagai pembantu yang harus dikuasai oleh seorang Mufassir, antara lain :
§ Ilmu-ilmu Bahasa Arab (Nahwu, Sharaf dan Balaghah).
Kata mujahid: “Orang yang tidak mengetahui seluruh Bahasa Arab, tidak boleh baginya menafsirkan Al-Qur’an.”
§ Ilmu Hadits
Penafsiran yang dilarang adalah menafsirkan Al-Qur’an dengan tidak memperdulikan Sunnah dan kaidah-kaidah yang ditetapkan.
§ Ilmu Ushulul Fiqih Ilmu Qiraat
Dengan ilmu ini dapat diketahui bagaimana kita menyebut kalimat-kalimat Al-Qur’an dan dengan inilah kita dapat menafsirkan makna yang terkandung di dalamnya.
Seperti yang dikemukakan di atas bahwa menafsirkan Al-Qur’an berarti menerangkan ayat-ayatnya. Seorang Mufassir baru dapat memberikan uraian dan keterangan sesuai dengan maksud ayat tersebut secara tepat dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, apabila ia sebelumnya menguasai Ulumul Qur’an tersebut. Dengan kata lain, setelah ia memahami dan menguasai Ulumul Qur’an, baru ia akan mampu memberikan tafsir atau takwil terhadap sesuatu atau beberapa ayat-ayat Al-Qur’an. Dengan Ulumul Qur’an seseorang baru bisa membuka dan menyelami apa yang terkandung di dalam Al-Qur’an.
Dengan demikian, maka Ulumul Qur’an berfungsi sebagai kunci pembuka terhadap penafsiran Al-Qur’an sesuai dengan maksud apa yang terkandung di dalamnya. Sedangkan kedudukannya sebagai ilmu yang pokok, yang merupakan alat yang diperlukan bagi setiap Mufassir.
Apabila dilihat dari segi lain, maka Ulumul Qur’an juga dapat merupakan ukuran atau standar bagi tafsir Al-Qur’an. Artinya, semakin tinggi dan mendalam Ulumul Qur’an dikuasai oleh seorang Mufassir, maka tafsir yang diberikannya juga akan semakin mendekati kebenarannya. Oleh karena itu, maka selain berfungsi sebagai kunci pembuka, Ulumul Qur’an juga dapat berfungsi sebagai standar terhadap tafsir Al-Qur’an yang dibuatnya. Fungsi sebagai standar, yaitu dengan Ulumul Qur’an akan dapat dibedakan antara tafsir yang shahih yang tidak shahih.
3. Sejarah pertumbuhan dan perkembangan Ulumul Qur’an
Sebagai ilmu yang terdiri dari berbagai cabang dan macamnya, Ulumul Qur’an tidak lahir sekaligus. Ulumul Qur’an menjelma menjadi suatu displin ilmu melalui proses pertumbuhan dan perkembangan sesuai dengan kebutuhan dan kesempatan untuk membenahi Al-Qur’an dari keberadaannya dan segi pemahamannya.
Di masa Rasul SAW dan para sahabat, Ulumul Qur’an belum dikenal sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri dan tertulis. Para sahabat adalah orang-orang Arab asli yang dapat merasakan struktur Bahasa Arab yang tinggi dan memahami apa yang diturunkan kepada Rasul dan bila menemukan kesulitan dalam memahami ayat-ayat tertentu, mereka dapat menanyakan langsung kepada Rasul SAW.
Di zaman Khulafa’u Rasyiddin sampai Dinasti Umayyah wilayah Islam bertambah luas sehingga terjadi pembauran antara Orang Arab dan bangsa-bangsa yang tidak mengetahui Bahasa Arab. Keadaan demikian menimbulkan kekhawatiran sahabat akan tercemarnya keistimewaan Bahasa Arab, bahkan dikhawatirkan tentang bacaan Al-Qur’an yang menjadi sebuah standar bacaan mereka. Untuk mencegah kekhawatiran itu, disalinlah dari tulisan-tulisan aslinya sebuah Al-Qur’an yang disebut mushaf imam. Dan dari salinan inilah suatu dasar Ulumul Qur’an yang disebut Al-Rasm Al-Utsmani.
Kemudian, Ulumul Qur’an memasuki masa pembukuannya pada abad ke-2 H. Para ulama memberikan prioritas perhatian mereka kepada ilmu tafsir karena fungsinya sebagai Umm Al-Ulum Al-Qur’aniyyah. Para penulis pertama dalam tafsir adalah Syu’bah bin Al-Hajjaj (160 H), Sufyan bin Uyaynah (198 H) dan Wali bin Al-Jarrah (197 H). Dan pada abad ke-3 muncul tokoh tafsir yang merupakan Mufassir pertama yang membentangkan berbagai pendapat dan mentarjih sebagiannya. Beliau adalah Ibn Jarir At-Thabari (310 H). Selanjutnya sampai abad ke-13 Ulumul Qur’an terus berkembang pesat dengan lahirnya tokoh-tokoh yang selalu melahirkan buah karyanya untuk terus melengkapi pembahasan-pembahasan yang berhubungan dengan ilmu tersebut. Di antara sekian banyak tokoh-tokoh tersebut, Jalaluddin Al-Bulqini (824 H) pengarang kitab Mawaqi’ Al-Ulum Min Mawaqi’ Al-Nujum dipandang Assuyuthi sebagai ulama yang mempelopori penyusunan Ulumul Qur’an yang lengkap. Sebab dalam kitabnya tercakup 50 macam ilmu Al-Qur’an. Jalaluddin Al-Syuyuthi (991 H) menulis kitab Al-Tahhir Fi Ulum Al-Tafsir. Penulisan kitab ini selesai pada tahun 873 H, kitab ini memuat 102 macam ilmu-ilmu Al-Qur’an. Karena itu, menurut sebagian ulama, kitab ini dipandang sebagai kitab Ulumul Qur’an paling lengkap. Namun, Al-Syuyuthi belum merasa puas dengan karya monumental ini sehingga ia menyusun lagi kitab Al-Itqan Fi Ulum Al-Qur’an. Di dalamnya dibahas 80 macam ilmu-ilmu Al-Qur’an secara padat dan sistematis. Menurut Al-Zarqani, kitab ini merupakan pegangan bagi para peneliti dan penulis dalam ilmu ini. Sampai saat ini bersamaan dengan masa kebangkitan modern dalam perkembangan ilmu-ilmu agama, para ulama masih memperhatikan akan ilmu Qur’an ini. Sehingga tokoh-tokoh Ahli Qur’an masih banyak hingga saat ini di seluruh dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar