PENGKAJIAN PERADILAN ISLAM
A. Pendahuluan
Salah satu bidang ilmu Agama Islam yang dikembangkan dalam lingkungan perguruan tinggi ialah Hukum Islam dan Pranata Sosial. Ia terdiri atas berbagai bidang studi, di antaranya Peradilan Islam (al-Qadha’ fi al-Islam) yang mendapat perhatian cukup besar di kalangan fuqaha dan para pakar di bidang lain. Demikian halnya Peradilan Islam di Indonesia, yang secara resmi dikenal sebagai peradilan agama, mendapat perhatian dari kalangan pakar Hukum Islam, Hukum Tata Negara, Sejarah, Politik, Antropologi Dan Sosiologi. Ia menjadi sasaran pengkajian, yang kemudian ditulis dalam bentuk laporan penelitian, monografi, skripsi, tesis, disertasi dan buku daras. Hasil pengkajian itu, sebagian diterbitkan dan disebarluaskan.
Di samping itu, Peradilan Islam menjadi bahan pengkajian dalam berbagai pertemuan ilmiah, baik yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi maupun di kalangan pembina badan peradilan dan organisasi profesi di bidang itu. Publikasi hasil pengkajian itu dapat ditemukan dalam berbagai kumpulan karangan dan dalam jurnal. Ia akan tetap menarik sebagai sasaran pengkajian, khususnya di Indonesia, karena memiliki keunikan tersendiri sebagai satu-satunya institusi keislaman yang menjadi bagian dari penyelenggaraan kekuasaan negara. Dengan sendirinya, muncul tuntutan pemetaan wilayah pengkajian dan metode yang tepat untuk digunakan. Bahkan, membutuhkan perumusan model pengkajian yang jelas, agar pengkajian Peradilan Islam dapat dilakukan secara berkesinambungan dan produknya mendekati gambaran yang sebenarnya.
B. Wilayah Pengkajian
Ruang lingkup pengkajian Peradilan Islam berasal dari konsep yang digunakan. Ia bertitik tolak dari pengertian yang dirumuskan, berbagai unsur yang tercakup di dalamnya dan relasinya dengan konsep lain. Ruang lingkup tersebut dapat dirinci dari cakupan pengertiannya, yakni: peradilan adalah kekuasaan negara dalam menerima, memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara untuk menegakkan hukum dan keadilan. Berdasarkan ruang lingkup itu, pengkajian peradilan meliputi :
1. Peradilan adalah kekuasaan negara (bahkan antar negara), yakni kekuasaan kehakiman (judicial power) dalam penyelenggaraan negara.
2. Kekuasaan itu dilaksanakan oleh badan peradilan, yakni pengadilan sebagai satuan penyelenggara kekuasaan kehakiman.
3. Kekuasaan yang melekat pada pengadilan terdiri atas kekuasaan absolut dan kekuasaan relatif.
4. Pengadilan tersusun secara hirarkis, yakni pengadilan tingkat pertama dan tingkat terakhir.
5. Susunan pengadilan terdiri atas pimpinan dan pelaksana.
6. Unsur pelaksana dalam pengadilan terdiri atas hakim, panitera dan unsur lain dalam struktur organisasi pengadilan.
7. Perkara yang tercakup dalam kekuasaan meliputi perkara perdata, pidana dan perkara lain yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.
8. Orang-orang yang beragama Islam (juga badan hukum yang menundukkan diri kepada hukum Islam secara sukarela), sebagai pihak yang berperkara, yang kemudian dikenal sebagai para pencari keadilan.
9. Hukum substantif yang dijadikan dasar untuk mengadili dan memutuskan perkara adalah Hukum Islam.
10. Untuk menerapkan hukum substantif tersebut dilaksanakan dengan merujuk pada hukum acara (hukum posedural).
11. Prosedur berperkara di pengadilan meliputi tahapan penerimaan, pemeriksaan, penyidangan, pemutusan dan penyelesaian perkara yang diajukan ke pengadilan.
12. Produk pengadilan atas perkara tersebut berupa keputusan pengadilan, yakni putusan dan penetapan.
13. Penegakan hukum dan keadilan sebagai tujuan penyelenggaraan peradilan.
14. Aspek-aspek administratif dalam penyelenggaraan peradilan, yakni dukungan administrasi peradilan dan administrasi umum.
Peradilan merupakan salah satu pranata hukum sekaligus pranata sosial dalam kehidupan masyarakat Islam. Oleh karena itu, peradilan berhubungan secara timbal balik dengan berbagai bidang kehidupan masyarakat. Di samping itu, ia mengalami pertumbuhan dan perkembangan sejak Islam menjadi kekuatan politik dalam perjalanan sejarah masyarakat Islam secara umum.
Uraian di atas menunjukkan bahwa ruang lingkup pengkajian Peradilan Islam meliputi wilayah yang sangat luas. Ruang lingkup itu sekaligus menunjukkan batasannya, yang secara teknis dalam penelitian disebut wilayah penelitian (research area). Hal itu memberi kemungkinan dalam menentukan berbagai wilayah penelitian dan masalah penelitian, serta metode penelitian yang digunakan untuk mengembangkan penelitian dan pengkajian pada umumnya. Secara garis besar wilayah penelitian Peradilan Islam terdiri atas :
1. Wilayah penelitian internal sebagaimana dirinci dalam ruang lingkup pengkajian Peradilan Islam di atas. Wilayah penelitian ini dapat dirinci sesuai dengan anatomi dan dinamika Peradilan Islam sesuai dengan keperluan pengkajian.
2. Wilayah penelitian eksternal, yakni hubungan antara Peradilan Islam dengan institusi lain dan perkembangan masyarakat Islam pada umumnya.
C. Pendekatan Pengkajian
Berkenaan dengan penentuan wilayah dan penelitian itu, diperlukan pemilihan dan penggunaan pendekatan dan metode pengkajian yang tepat. Tepat, dalam pengertian bersesuaian dengan ruang lingkup masalah yang dikaji dan tepat dalam pengertian bersesuaian dengan karakteristik bidang pengkajian. Selanjutnya dilakukan adaptasi dan modifikasi metode pengkajian, khususnya metode penelitian yang lazim digunakan. Kemudian disusun langkah-langkah operasional sebagaimana yang lazim digunakan dalam perencanaan penelitian. Semua langkah itu dimasukkan ke dalam bentuk atau model pengkajian.
Ada dua pendekatan yang dapat digunakan dalam pengkajian Peradilan Islam. Pertama, pendekatan normatif-moralistis. Peradilan Islam dideduksi dari ayat Al-Qur’an dan Hadits, serta peraturan perundang-perundangan yang berlaku, atau dirujuk dari doktrin para ahli, termasuk fuqaha. Kedua, pendekatan antropologis atau pendekatan sosiologis. Peradilan Islam diinduksi dari suatu realitas, sebagai gejala budaya dan gejala sosial. Kedua pendekatan itu masing-masing memiliki kelebihan dan sekaligus merupakan kekurangannya.
Pendekatan pertama lebih mudah digunakan karena memiliki pola yang telah baku, aspek normatif tentang peradilan. Pola itu dapat dijadikan patokan untuk melakukan penilaian terhadap Peradilan Islam. Dengan demikian dapat dilakukan pengkajian evaluasi, untuk mengukur “apa yang senyatanya” (das sein) yang bersifat aktual diukur dengan “apa yang seharusnya” (das söllen) yang bersifat ideal. Apabila terdapat perbedaan atau kesenjangan antara das sein dengan das söllen, maka dengan mudah dapat dinyatakan bahwa “yang senyatanya” itu inkonsisten atau salah dan menyimpang. Atau sebaliknya, terjadi idealisasi Peradilan Islam karena tuntutan ideologis atau “pembelaan”, sehingga terjadi kemencengan yang sangat menonjol. Ia kehilangan objektivitasnya dan mengabaikan akurasi.
Pendekatan kedua memiliki kemampuan untuk mendeskripsikan, bahkan untuk menjelaskan gejala Peradilan Islam menurut sudut pandang antropologis atau sosiologis. Ia mampu menjelaskan tentang aspek-aspek yang statis dan yang dinamis, yang terkait dengan lingkungannya yang lebih luas. Cukup banyak teori, bahkan paradigma yang dapat digunakan dalam pendekatan ini. Namun demikian, ia “kehilangan jejak” dalam menjelaskan hubungan das söllen dengan das sein yang bertitiktolak dari keyakinan yang kemudian terwujud dalam pranata hukum dan pranata sosial. Ia tidak mampu memberikan makna terhadap gejala empirik yang selayaknya dihayati.
Di samping itu, pengkajian Peradilan Islam dapat digunakan dengan “mengawinkan” kedua pendekatan itu. Pendekatan pertama digunakan untuk memahami “apa yang seharusnya”, sebagaimana yang biasa dilakukan oleh fuqaha dalam pengkajian Peradilan Islam dan para ahli hukum dalam pengkajian hukum dan peradilan pada umumnya. Pendekatan kedua dapat digunakan untuk menggambarkan dan menjelaskan “apa yang senyatanya” sebagaimana yang biasa dilakukan oleh ilmu-ilmu sosial. Dengan cara demikian, “apa yang seharusnya” dan “apa yang senyatanya” itu dipandang sebagai suatu gejala kontinum (yang berkesinambungan), bukan sebagai gejala dikotomis.
Selanjutnya, dilakukan adaptasi dan modifikasi dari metode penelitian yang lazim digunakan dalam ilmu-ilmu budaya dan terutama dalam ilmu-ilmu sosial. Terdapat berbagai metode penelitian yang dapat diadaptasi dan dimodifikasi, di antaranya metode penelitian hukum, metode penelitian sejarah, metode penelitian survey, metode penelitian studi kasus, metode penelitian evaluasi, dan metode penelitian analisis isi.
D. Model Pengkajian
Pengkajian Peradilan Islam dapat dilakukan dengan beranekaragam model atau bentuk, di antaranya sebagai berikut :
1. Pengkajian aspektual. Pengkajian ini dititikberatkan pada unsur-unsur yang terkandung dalam wilayah penelitian internal sebagaimana dikemukakan di atas.
2. Pengkajian relasional. Pengkajian ini dititikberatkan pada hubungan antara Peradilan Islam dengan pranata hukum dan pranata sosial lainnya, atau dengan sistem sosial secara makro.
3. Pengkajian sosio-historis. Pengkajian ini dititikberatkan pada kronologi pertumbuhan dan perkembangan Peradilan Islam dalam suatu rentangan waktu tertentu atau dalam suatu kawasan kebudayaan lokal tertentu.
E. Tahapan Pengkajian
Secara teknis pengkajian Peradilan Islam dilaksanakan dalam kegiatan penelitian, melalui beberapa tahapan sebagai berikut :
1. Perumusan masalah penelitian
Secara sederhana masalah penelitian dapat didefinisikan sebagai hubungan antar unsur sebagai suatu kesatuan atau hubungan antara dua variabel atau lebih. Ia dirumuskan melalui tahapan-tahapan identifikasi masalah, pembatasan masalah dan pernyataan masalah. Tahapan itu dirumuskan dengan kalimat-kalimat deskriptif. Kemudian diajukan beberapa pertanyaan penelitian yang relevan dengan masalah penelitian itu. Selanjutnya, dirumuskan tujuan dan kegunaan penelitian yang hendak dicapai.
2. Pengkajian bahan pustaka
Pengkajian terhadap berbagai bahan bacaan, termasuk hasil penelitian, yang relevan dengan masalah penelitian. Dari hasil pengkajian itu tergambar tentang berbagai teori dan konsep yang pernah dirumuskan dan digunakan, serta perkembangan pengkajian yang pernah dilakukan.
3. Perumusan kerangka berpikir
Kerangka berpikir merupakan suatu cara menggunakan teori dalam penelitian. Hubungan antar atau dalam suatu teori, atau antar konsep dijadikan landasan kerja dalam tahapan penelitian berikutnya.
4. Pemilihan metode penelitian
Metode penelitian yang dipilih adalah yang relevan dengan masalah dan tujuan penelitian. Oleh karena metode penelitian Peradilan Islam itu belum dirumuskan secara khusus, maka dapat dilakukan adaptasi dan modifikasi dari metode penelitian yang telah ada.
5. Penentuan sumber data
Ada yang berupa bahan bacaan, yaitu buku, peraturan perundang-undangan dan dokumen (antara lain putusan pengadilan, penetapan pengadilan, berita acara persidangan dan laporan pengadilan). Sumber itu, selama ini banyak digunakan dalam penelitian. Ada yang berupa manusia, yaitu informan atau responden, seperti ketua pengadilan, hakim, panitera dan pihak-pihak yang berperkara. Di samping itu, ada yang berupa peristiwa dan perilaku manusia, seperti dalam berperkara di pengadilan.
6. Pengumpulan data
Pengumpulan data dari sumbernya dapat dilakukan dengan berbagai cara (metode). Data dari sumber bahan pustaka, peraturan perundang-undangan dan dokumen, dikumpulkan dengan cara penelaahan terhadap isi bahan tertulis itu. Data yang bersumber dari informan dan responden, dikumpulkan dengan cara wawancara atau pengajuan daftar pertanyaan atau wawancara kepada sumber data.
7. Analisis data
Data yang telah terkumpul, diseleksi dan diklasifikasikan (dipilih dan dipilah) berdasarkan kategori tertentu. Kemudian antar data itu dihubungkan (simetris, asimetris atau resiprokal), yang diacu pada tujuan penelitian. Dari hubungan antar kelas data itu dan mengacu pada kerangka berpikir yang telah dirumuskan, dapat ditarik kesimpulan. Selanjutnya, kesimpulan itu dihubungkan atau dibandingkan dengan hasil penelitian lain tentang masalah yang sama.
8. Penulisan laporan penelitian
Penulisan laporan penelitian menggunakan tata cara yang lazim dalam penulisan karya ilmiah. Secara garis besar laporan itu meliputi tiga bagian, yaitu bagian muka (suplemen awal), bagian utama (naskah laporan) dan bagian belakang (suplemen akhir). Sedangkan bagian utama laporan, pada umumnya terdiri atas tiga bagian pula, yaitu pendahuluan, data dan pembahasan, dan kesimpulan. Selanjutnya hasil penelitian itu dikomunikasikan dalam pertemuan ilmiah, yaitu seminar hasil penelitian dan penerbitan hasil penelitian (ringkasan maupun lengkap).
F. Penutup
Pengembangan model pengkajian Peradilan Islam merupakan salah satu kebutuhan. Hal itu memberi arah dan langkah pengkajian secara sistematis. Dengan demikian, hasil pengkajian akan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan akan memberikan sumbangan yang sangat berharga terhadap perbendaharaan pengetahuan ilmiah.
Upaya ke arah perumusan dan penyempurnaan model pengkajian Peradilan Islam merupakan salah satu kebutuhan yang tidak dapat ditawar. Ia merupakan penggerak dalam pengembangan ilmu agama Islam, baik untuk dirinya sendirinya maupun untuk pengembangan masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar