Rabu, 28 Maret 2012

Ulumul Qur'an


Tokoh-Tokoh Ahli Tafsir

§    Syu’bah bin Al-Hajjaj
§    Sufyan bin Uyaynah
§    Wali bin Al-Jarrah
§    Ibn Jarir At-Thabari
§    Jalaluddin Al-Bulqini
§    Jalaluddin As-Suyuthi
§    Abdullah bin Abbas
§    Mujahid bin Jabr
§    At-Thobari
§    Ibnu Katsir
§    Fakhruddin Ar-Rozi dan lain-lain.

Di antara para mufasir terpopuler di kalangan sahabat Nabi adalah empat kholifah, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa Al-Asy’ari dan Abdullah bin Az-Zubair.
Sedangkan pada abad ke-II H, maka para ulama memberikan prioritas atas penyusunan tafsir. Di antaranya Syu’bah bin Al-Hajjaj, Sufyan bin Uyainah, dan Waki’ bin Al-Jarroh.
Pada abad ke-III H di antara ulama mulai menyusun beberapa ilmu Al-Qur’an, ialah: Ali bin Al-Madini (menyusun ilmu asbabun nuzul), Abu Ubaid Al-Qosim bin Salam (menyusun ilmu nasikh wal mansukh dan ilmu qiroat) dan Muhammad bin Ayyub Al-Dhirris (menyusun kitab Al-Hawi Fi Ulumil Qur’an).
Pada abad ke-IV H di antara ulama mulai menyusun ilmu Ghoribul Qur’an dan Ulumul Qur’an, ialah: Abu Bakar Al-Sijistani, Abu Bakar Muhammad bin Al-Qosim Al-Anbari, Abul Hasan Al-Asy’ari, Abu Muhammad Al-Qossab Muhammad bin Ali Al-Karakhi dan Muhammad bin Ali Al-Adwafi.
Pada abad ke-V H mulai disusun ilmu I’robil Qur’an dan masih terus menulis Ulumul Qur’an, ialah: Ali bin Ibrahim bin Sa’id Al-Khuffi dan Abu ‘Amr Al-Dani.
Pada abad ke-VI H, di samping terdapat ulama yang meneruskan pengembangan Ulumul Qur’an, juga terdapat ulama yang mulai menyusun ilmu Mubhamatil Qur’an, mereka itu antara lain ialah: Abul Qosim, Abdurrahman Al-Suhaili dan Ibnul Jauzi.
Pada abad ke-VII H, ilmu-ilmu Al-Qur’an terus berkembang dengan mulai tersusunnya ilmu Majazul Qur’an dan ilmu Qiro’at, di antaranya: Ibnu Abdissalam, Allamuddin Al-Sakhowi dan Abu Syama.
Pada abad ke-VIII H, muncullah beberapa ulama yang menyusun ilmu-ilmu baru, di antaranya: Ibnu Abil Isba’ (menyusun ilmu Badai’ul Qur’an), Ibnu Qoyyim (menyusun ilmu Aqsamil Qur’an), Najmuddin Al-Thufi (menyusun ilmu Hujajil Qur’an atau ilmu Jadadil Qur’an), Abul Hasan Al-Mawardi (menyusun ilmu Amtsalil Qur’an) dan Badruddin Al-Zarkasi (menyusun kitab Al-Burhan Fi Ulumil Qur’an)
Pada abad ke-IX dan X H, perkembangan Ulumul Qur’an mencapai kesempurnaannya. Di antara ulama yang menyusun Ulumul Qur’an: Jalaluddin Al-Bulqimi, Muhammad bin Sulaiman Al-Kafiaji dan Suyuti.
Pada abad ke-XIV H, telah bangkit kembali perhatian ulama menyusun kitab-kitab yang membahas Al-Qur’an dari berbagai segi, di antaranya: Thohir Al-Jazairi, Jalaluddin Al-Qoim, Muhammad Abdu Adzim Az-Zarqoni, Muhammad Ali Salamah, Thanthowi Jauhari, Muhammad Shodiq Al-Rofi’i, Musthofa Al-Maragi dan lain-lain.


MATERI ULUMUL QUR’AN

A.           Ulumul Qur’an
1.             Pengertian Ulumul Qur’an dan lingkup pembahasannya
a.             Pengertian Ulumul Qur’an
Secara etimologi, kata Ulumul Qur’an berasal dari Bahasa Arab yang terdiri dari dua kata, yaitu “ulum” dan “Al-Qur’an”. Kata ulum adalah bentuk jama’ dari kata “ilmu” yang berarti ilmu-ilmu. Kata ulum yang disandarkan kepada kata Al-Qur’an telah memberikan pengertian bahwa ilmu ini merupakan kumpulan sejumlah ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur’an, baik dari segi keberadaannya sebagai Al-Qur’an maupun segi pemahaman terhadap petunjuk yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian, Ilmu Tafsir, Ilmu Qira’at, Ilmu Rasmil Qur’an, Ilmu I’jazil Qur’an, Ilmu Asbabun Nuzul dan ilmu-ilmu yang ada kaitannya dengan Al-Qur’an menjadi bagian dari Ulumul Qur’an.
Sedangkan menurut terminologi terdapat berbagai definisi yang dimaksud dengan Ulumul Qur’an antara lain :
1)             Assuyuthi dalam kitab Itmam Al-Dirayah mengatakan :
علم يبحث فيه عن احوال الكتاب العزيز من جهة نزوله وسنده وادابه الفاظه ومعانيه
المتعلقة بالاحكام وغير ذالك.
Artinya: “Ilmu yang membahas tentang keadaan Al-Qur’an dari segi turunnya, sanadnya, adabnya, makna-maknanya, baik yang berhubungan lafadh-lafadhnya maupun yang berhubungan dengan hukum-hukumnya, dan sebagainya.”
2)             Al-Zarqany memberikan definisi sebagai berikut :
مباحث تتعلق بالقران الكريم من ناحية نزوله وترتيبه وجمعه وكابته وقراءته وتفسيره واعجازه وناسخه ومنسوخه ودفع الشبه عنه ونحو ذالك.
Artinya: “Beberapa pembahasan yang berhubungan dengan Al-Qur’an Al-Karim dari segi turunnya, urutannya, pengumpulannya, penulisannya, bacaannya, penafsirannya, kemu’jizatannya, nasikh mansukhnya, penolakan hal-hal yang bisa menimbulkan keraguan terhadapnya dan sebagainya.”
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa Ulumul Qur’an adalah ilmu yang membahas hal-hal yang berhubungan dengan Al-Qur’an, baik dari aspek keberadaannya sebagai Al-Qur’an maupun aspek pemahaman kandungannya sebagai pedoman dan petunjuk bagi manusia atau ilmu-ilmu yang berhubungan dengan berbagai aspek yang terkait dengan keperluan membahas Al-Qur’an.

b.             Ruang lingkup pembahasan Al-Qur’an
Ulumul Qur’an merupakan suatu ilmu yang mempunyai ruang lingkup pembahasan yang luas. Ulumul Qur’an meliputi semua ilmu yang ada kaitannya dengan Al-Qur’an, baik berupa ilmu-ilmu agama, seperti ilmu tafsir maupun ilmu-ilmu Bahasa Arab, seperti ilmu Balaghah dan ilmu I’rab Al-Qur’an.
Di samping itu, masih banyak lagi ilmu-ilmu yang tercakup di dalamnya. Dalam kitab Al-Itqan, Assuyuthi menguraikan sebanyak 80 cabang ilmu. Dari tiap-tiap cabang terdapat beberapa macam cabang ilmu lagi. Kemudian dia mengutip Abu Bakar Ibnu Al-Araby yang mengatakan bahwa Ulumul Qur’an terdiri dari 77450 ilmu. Hal ini didasarkan kepada jumlah kata yang terdapat dalam Al-Qur’an dengan dikalikan empat. Sebab, setiap kata Al-Qur’an mengandung makna dhohir, batin, terbatas dan tidak terbatas. Perhitungan ini masih dilihat dari sudut mufrodatnya. Adapun jika dilihat dari sudut hubungan kalimat-kalimatnya maka jumlahnya tidak terhitung. Firman Allah :
قل لو كان البحر مدادا لكلمت ربى لنفد البحر قبل تنفد كلمت ربى ولو جئنا بمثله مدادا.
Artinya: “Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).” (QS. Al-Kahfi: 109)

c.             Pokok pembahasan
Secara garis besar ilmu Al-Qur’an terbagi dua pokok bahasan yaitu :
1)             Ilmu yang berhubungan dengan riwayat semata-mata, seperti ilmu yang membahas tentang macam-macam qira’at, tempat turun ayat-ayat Al-Qur’an, waktu-waktu turunnya dan sebab-sebabnya.
2)             Ilmu yang berhubungan dengan dirayah, yakni ilmu yang diperoleh dengan jalan penelaahan secara mendalam seperti memahami lafadh yang ghorib (asing) serta mengetahui makna ayat-ayat yang berhubungan dengan hukum.
Namun, Ash-Shidiqie memandang segala macam pembahasan Ulumul Qur’an itu kembali kepada beberapa pokok pembahasan saja, seperti :
§    Nuzul
Pembahasan ini menyangkut dengan ayat-ayat yang menunjukkan tempat dan waktu turunnya ayat Al-Qur’an, misalnya: makkiyah, madaniyyah, hadhariah, safariyah, nahariyah, lailiyah, syita’iyah, shaifiyah dan firasyiah. Pembahasan ini juga meliputi hal yang menyangkut asbabun nuzul dan sebagainya.
§    Sanad
Pembahasan ini meliputi hal-hal yang menyangkut sanad yang mutawatir, ahad, syadz, bentuk-bentuk qira’at Nabi, para periwayat dan para penghafal Al-Qur’an dan cara tahammul (penerimaan riwayat).
§    Ada’ Al-Qira’ah
Pembahasan ini menyangkut waqof, ibtida’, imalah, madd, takhfif hamzah, idghom dan lain-lain.
§    Pembahasan yang menyangkut lafadh Al-Qur’an, yaitu tentang gharib, mu’rab, majaz, musytarak, muradif, isti’arah dan tasybih.
§    Pembahasan makna Al-Qur’an yang berhubungan dengan hukum, yaitu ayat yang bermakna amm dan tetap dalam keumumannya, amm yang dimaksudkan khusus, amm yang dikhususkan oleh sunnah, nash, dhahir, mujmal, mufashal, manthuq, mafhum, mutlaq, muqayyad, muhkam, mutasyabih, musykil, nasikh mansukh, muqaddam, muakhar, ma’mul pada waktu tertentu dan ma’mul oleh seorang saja.
§    Pembahasan makna Al-Qur’an yang berhubungan dengan lafadh, yaitu fashl, washl, ijaz, ithnab, musawah dan qashr.

2.             Hubungan dan orgensinya dengan tafsir Al-Qur’an
Al-Qur’an diturunkan dalam Bahasa Arab. Karena itu ada anggapan bahwa setiap orang yang mengerti Bahasa Arab mengerti isi Al-Qur’an. Lebih dari itu, ada orang yang merasa telah dapat memahami dan menafsirkan Al-Qur’an dengan bantuan terjemahannya sekalipun ia tidak mengerti Bahasa Arab. Anggapan seperti itu sebenarnya keliru. Sebab, banyak orang yang mengerti Bahasa Arab, tetapi tidak mengerti isi Al-Qur’an. Karena itu, tidak mengherankan bila Orang Arab sendiri banyak yang tidak mengerti kandungan Al-Qur’an. Bahkan di antara para sahabat dan tabi’in ada yang salah memahami Al-Qur’an, karena tidak memiliki instrumen untuk memahaminya, yaitu ilmu-ilmu Al-Qur’an.
Sebagaimana kita ketahui bahwa Ulumul Qur’an adalah ilmu yang mencakup pembahasan-pembahasan yang berhubungan dengan Al-Qur’an Al-Karim, dari segi pengetahuan tentang sebab-sebab turunnya, pengumpulan Al-Qur’an dan urut-urutannya, pengetahuan tentang ayat Makkiyyah dan Madaniyyah, dan hal-hal lain yang ada hubungannya dengan Al-Qur’an.
Sebelum membahas mengenai hubungan antara Ulumul Qur’an dengan tafsir, maka kita harus lebih dahulu mengemukakan hal-hal yang berhubungan dengan tafsir.
Kata tafsir, diambil dari kata tafsirah, yaitu: perkakas yang dipergunakan tabib untuk mengetahui penyakit orang sakit. Hal ini dapat dimaksudkan bahwa tafsir adalah alat yang digunakan untuk mengetahui kandungan yang tersimpan dalam Al-Qur’an.
Menurut bahasa, tafsir berarti “menerangkan dan menyatakan”. Sedangkan menurut istilah, artinya adalah menerangkan ayat-ayat Al-Qur’an, baik menerangkan artinya, maksud yang terkandung di dalamnya atau pun mengenai kandungan isinya, baik dengan ketentuan yang jelas atau dengan isyarat.
Az-Zarkasyi dalam Al-Burhan berpendapat bahwa tafsir adalah menerangkan makna-makna Al-Qur’an dan mengeluarkan hukum-hukum dan hikmah-hikmahnya.
Sementara itu, kata Al-Jurjany bahwa tafsir pada asalnya ialah: “membuka dan melahirkan”. Pada istilah syara’ yaitu: menjelaskan makna ayat, urusannya, kisah dan sebab yang karenanya diturunkan ayat, dengan lafadh yang menunjuk kepadanya secara terang.
Untuk menjelaskan dan menafsirkan tentang ayat-ayat dalam Al-Qur’an seseorang harus mempunyai pengetahuan yang mantap tentang Ulumul Qur’an. Dengan demikian, maka antara Ulumul Qur’an dan tafsir mempunyai hubungan yang sangat erat sekali. Ulumul Qur’an amat menentukan bagi seseorang yang ingin menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an secara tepat dan dapat dipertanggungjawabkan. Bagi seorang mufassir, maka Ulumul Qur’an secara mutlak merupakan yang harus lebih dahulu dikuasainya, sebelum ia mulai memberikan tafsir terhadap ayat-ayat Al-Qur’an.
Seperti halnya dalam bidang Hadits, maka seorang Muhadits yang akan menerangkan Hadits memerlukan ilmu-ilmu Hadits. Demikian juga dalam tafsir, maka sebelum seorang Mufassir menerangkan dan menafsirkan Al-Qur’an, terlebih dahulu harus juga menguasai ilmu-ilmu tafsir, atau yang lazim disebut sebagai Ulumul Qur’an atau ilmu-ilmu Al-Qur’an.
Sudah barang tentu, di samping Ulumul Qur’an sebagai pokok maka juga diperlukan ilmu-ilmu lain sebagai pembantu yang harus dikuasai oleh seorang Mufassir, antara lain :
§    Ilmu-ilmu Bahasa Arab (Nahwu, Sharaf dan Balaghah).
Kata mujahid: “Orang yang tidak mengetahui seluruh Bahasa Arab, tidak boleh baginya menafsirkan Al-Qur’an.”
§    Ilmu Hadits
Penafsiran yang dilarang adalah menafsirkan Al-Qur’an dengan tidak memperdulikan Sunnah dan kaidah-kaidah yang ditetapkan.
§    Ilmu Ushulul Fiqih Ilmu Qiraat
Dengan ilmu ini dapat diketahui bagaimana kita menyebut kalimat-kalimat Al-Qur’an dan dengan inilah kita dapat menafsirkan makna yang terkandung di dalamnya.
Seperti yang dikemukakan di atas bahwa menafsirkan Al-Qur’an berarti menerangkan ayat-ayatnya. Seorang Mufassir baru dapat memberikan uraian dan keterangan sesuai dengan maksud ayat tersebut secara tepat dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, apabila ia sebelumnya menguasai Ulumul Qur’an tersebut. Dengan kata lain, setelah ia memahami dan menguasai Ulumul Qur’an, baru ia akan mampu memberikan tafsir atau takwil terhadap sesuatu atau beberapa ayat-ayat Al-Qur’an. Dengan Ulumul Qur’an seseorang baru bisa membuka dan menyelami apa yang terkandung di dalam Al-Qur’an.
Dengan demikian, maka Ulumul Qur’an berfungsi sebagai kunci pembuka terhadap penafsiran Al-Qur’an sesuai dengan maksud apa yang terkandung di dalamnya. Sedangkan kedudukannya sebagai ilmu yang pokok, yang merupakan alat yang diperlukan bagi setiap Mufassir.
Apabila dilihat dari segi lain, maka Ulumul Qur’an juga dapat merupakan ukuran atau standar bagi tafsir Al-Qur’an. Artinya, semakin tinggi dan mendalam Ulumul Qur’an dikuasai oleh seorang Mufassir, maka tafsir yang diberikannya juga akan semakin mendekati kebenarannya. Oleh karena itu, maka selain berfungsi sebagai kunci pembuka, Ulumul Qur’an juga dapat berfungsi sebagai standar terhadap tafsir Al-Qur’an yang dibuatnya. Fungsi sebagai standar, yaitu dengan Ulumul Qur’an akan dapat dibedakan antara tafsir yang shahih yang tidak shahih.

3.             Sejarah pertumbuhan dan perkembangan Ulumul Qur’an
Sebagai ilmu yang terdiri dari berbagai cabang dan macamnya, Ulumul Qur’an tidak lahir sekaligus. Ulumul Qur’an menjelma menjadi suatu displin ilmu melalui proses pertumbuhan dan perkembangan sesuai dengan kebutuhan dan kesempatan untuk membenahi Al-Qur’an dari keberadaannya dan segi pemahamannya.
Di masa Rasul SAW dan para sahabat, Ulumul Qur’an belum dikenal sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri dan tertulis. Para sahabat adalah orang-orang Arab asli yang dapat merasakan struktur Bahasa Arab yang tinggi dan memahami apa yang diturunkan kepada Rasul dan bila menemukan kesulitan dalam memahami ayat-ayat tertentu, mereka dapat menanyakan langsung kepada Rasul SAW.
Di zaman Khulafa’u Rasyiddin sampai Dinasti Umayyah wilayah Islam bertambah luas sehingga terjadi pembauran antara Orang Arab dan bangsa-bangsa yang tidak mengetahui Bahasa Arab. Keadaan demikian menimbulkan kekhawatiran sahabat akan tercemarnya keistimewaan Bahasa Arab, bahkan dikhawatirkan tentang bacaan Al-Qur’an yang menjadi sebuah standar bacaan mereka. Untuk mencegah kekhawatiran itu, disalinlah dari tulisan-tulisan aslinya sebuah Al-Qur’an yang disebut mushaf imam. Dan dari salinan inilah suatu dasar Ulumul Qur’an yang disebut Al-Rasm Al-Utsmani.
Kemudian, Ulumul Qur’an memasuki masa pembukuannya pada abad ke-2 H. Para ulama memberikan prioritas perhatian mereka kepada ilmu tafsir karena fungsinya sebagai Umm Al-Ulum Al-Qur’aniyyah. Para penulis pertama dalam tafsir adalah Syu’bah bin Al-Hajjaj (160 H), Sufyan bin Uyaynah (198 H) dan Wali bin Al-Jarrah (197 H). Dan pada abad ke-3 muncul tokoh tafsir yang merupakan Mufassir pertama yang membentangkan berbagai pendapat dan mentarjih sebagiannya. Beliau adalah Ibn Jarir At-Thabari (310 H). Selanjutnya sampai abad ke-13 Ulumul Qur’an terus berkembang pesat dengan lahirnya tokoh-tokoh yang selalu melahirkan buah karyanya untuk terus melengkapi pembahasan-pembahasan yang berhubungan dengan ilmu tersebut. Di antara sekian banyak tokoh-tokoh tersebut, Jalaluddin Al-Bulqini (824 H) pengarang kitab Mawaqi’ Al-Ulum Min Mawaqi’ Al-Nujum dipandang Assuyuthi sebagai ulama yang mempelopori penyusunan Ulumul Qur’an yang lengkap. Sebab dalam kitabnya tercakup 50 macam ilmu Al-Qur’an. Jalaluddin Al-Syuyuthi (991 H) menulis kitab Al-Tahhir Fi Ulum Al-Tafsir. Penulisan kitab ini selesai pada tahun 873 H, kitab ini memuat 102 macam ilmu-ilmu Al-Qur’an. Karena itu, menurut sebagian ulama, kitab ini dipandang sebagai kitab Ulumul Qur’an paling lengkap. Namun, Al-Syuyuthi belum merasa puas dengan karya monumental ini sehingga ia menyusun lagi kitab Al-Itqan Fi Ulum Al-Qur’an. Di dalamnya dibahas 80 macam ilmu-ilmu Al-Qur’an secara padat dan sistematis. Menurut Al-Zarqani, kitab ini merupakan pegangan bagi para peneliti dan penulis dalam ilmu ini. Sampai saat ini bersamaan dengan masa kebangkitan modern dalam perkembangan ilmu-ilmu agama, para ulama masih memperhatikan akan ilmu Qur’an ini. Sehingga tokoh-tokoh Ahli Qur’an masih banyak hingga saat ini di seluruh dunia.

Senin, 26 Maret 2012

Materi Kedua


BAB I
PENDAHULUAN

A.           Dasar Pemikiran
Hadits sebagai sumber utama ajaran Islam dan teks normatif kedua setelah Al-Qur’an bagi umat Islam, yang mewartakan prinsip dan doktrin ajaran Islam yang merupakan hazanah dan warisan yang sangat berharga bagi perkembangan umat Islam. Di samping sebagai sumber ajaran Islam secara langsung terkait dengan keharusan mentaati Rasulallah SAW juga karena fungsinya sebagai penjelas (bayang) bagi ungkapan-ungkapan Al-Qur’an yang masih mujmal (global), muthlaq, aam dan sebagainya. Untuk membuktikan hal itu perlu dilakukan berbagai upaya, menjaga, memelihara dan melestarikan dari berbagai upaya negatif yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dalam upaya menyesatkan dan pemalsuan Hadits.[1]
Pemalsuan Hadits tidak hanya dilakukan oleh agama Islam saja, melainkan juga oleh non Muslim. Orang Islam yang memalsukan Hadits karena didorong oleh motif duniawi, politik, harta dan agama. Sedangkan non muslim didorong untuk menghancurkan umat Islam dari luar.[2]
Dalam periwayatan Hadits memerlukan perhatian yang serius dan khusus, sehingga dapat terjaga dari upaya pencampuradukkan dengan unsur lain, (ucapan Nabi dengan Al-Qur’an dan ucapan para sahabat). Mengingat proses penulisan Hadits yang memakan waktu relatif (sangat) lama (sampai 90 tahun)[3], semenjak zaman Nabi Muhammad SAW sudah ada dan telah timbul upaya pemalsuan Hadits[4] yang terus berlangsung sampai generasi-generasi berikutnya, baik yang dilakukan dengan tujuan baik maupun jahat, ditambah dengan berlangsungnya periwayatan Hadits secara makna yang banyak dilakukan, dalam sejarah Hadits penghimpunan Hadits secara resmi dan massal terjadi atas perintah Khalifah Umar bin Abdul Aziz (wafat 101 H/720 M), maka penulisan Ilmu Hadits sangat perlu dan penting untuk dilakukan.
Nabi Muhammad SAW telah mengancam bagi pemalsuan Hadits, dengan Haditsnya :
من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار. (رواه البخارى)
Artinya: “Barangsiapa yang berbohong dengan mengatasnamakan namaku secara sengaja, maka hendaklah ia tempatnya di neraka.” (HR. Bukhari)
Hadits sebagai teks kedua (the second text), tidaklah sama dengan Al-Qur’an, baik pada tataran (tingkat) kepastian teks (qath’i al-wurud) maupun pada taraf kepastian argumentasinya (qath’i al-dalalah). Pada tataran yang pertama, Hadits diharapkan pada fakta ada jaminan otentik yang secara eksplisit menjamin kepastian teks, sebagaimana dimiliki oleh Al-Qur’an.
Tidak ada jaminan otentisitas teks ini “memaksa” disiplin ilmu ini, melalui para pengkajinya, bersusah payah merumuskan secara swadaya (tanpa campur tangan Allah) konsep yang dapat menjamin akan otentisitasnya. Karena tanpa jaminan otentisitas, maka isi dan muatan Hadits bagaimanapun bagusnya dan solutifnya tetapi tidak dianggap eksistensinya (sebagai teks Hadits).
Kebutuhan umat Islam terhadap Hadits (Sunnah) sebagai ajaran agama terpusat pada subtansi doktrinal yang tersusun secara verbal dalam komposisi teks (redaksi) matan Hadits. Pada tataran (target) kedua (akhir) pengkajian Ilmu Hadits sesungguhnya terarah pada matan Hadits, sedangkan yang lain (sanad, lambang perekat riwayat, kitab yang mengoleksi) berkedudukan sebagai perangkat bagi proses pengutipan, pemeliharaan teks Hadits.[5]
Hadits Nabi yang terhimpun dalam kitab-kitab Hadits, terlebih dahulu melalui proses kegiatan yang dinamai riwayat al-hadits atau ar-riwayat. Ar-riwayat adalah masdar dari kata rawa yang berarti penukilan, penyebutan, pintalan dan pemberian minimum sampai puas.[6]
Sedangkan dalam Bahasa Indonesia berarti cerita, kisah dan berita. Apabila dihubungkan dengan Hadits, berarti berita atau kabar yang umum yang dimaksudkan untuk menerangkan hukum syara’.[7]
Apabila sekiranya semua Hadits Nabi Muhammad SAW itu sama dengan Al-Qur’an, yang dituturkan secara mutawatir, baik secara makna maupun lafadz, maka kajian terhadap Hadits Nabi Muhammad hanya difokuskan kepada kandungan maknanya saja, dan tidak banyak menimbulkan ikhtilaf. Akan tetapi berhubung Hadits Nabi yang sampai kepada kita melalui perjalanan panjang dan sebagian besar merupakan hasil periwayatan ahad dari pada periwayatan mutawatir, bahkan sebagian di antaranya merupakan penuturan makna, maka penyertaan sumber (sanad) dalam periwayatan menjadi demikian penting.
Oleh karena itu, pengetahuan tentang Hadits Nabi dan strukturnya merupakan bagian penting dalam pembahasan Ilmu Hadits. Di bawah ini akan diuraikan penjelasan tentang pengertian Ilmu Hadits, Hadits, Sunnah, Khabar dan Atsar.

B.            Pengertian Ilmu Hadits
Banyak macam istilah yang digunakan oleh para ulama untuk menyebut Ilmu Hadits. Di antara penyebutan itu adalah: Ilmu Ushul Al-Hadits, Ilmu Musthalah Hadits, Ilmu Musthalahi Ahli Al-Atsar, Ilmu Musthalahi Ahli Hadits dan lain sebagainya. Prof. Dr. Hasbi Al-Siddiqi, yang dikutif oleh M. Syuhudi Ismail, mengartikan Ilmu Hadits sebagai segala pengetahuan yang berhubungan dengan hadits Nabi Muhammad SAW.[8]
Dari pengertian di atas, maka cakupan (objek) Ilmu Hadits itu sangat luas orientasi kajiannya, tidak hanya menyangkut masalah matan dan sanad Hadits, tetapi juga menyangkut setting sosial budaya, politik dan sosial ekonomi yang melingkupi Hadits Nabi.
Berangkat dari pengertian di atas, maka Ilmu Hadits dapat mengalami perkembangan sesuai dengan perkemangan ilmu itu sendiri, misalnya Ilmu Sosiologi Hadits, Ilmu Politik Hadits dan lain sebagainya.[9]
1.             Pengertian Ilmu Hadits
Ilmu Hadits adalah :
علم الحديث هو معرفة القواعد التى يتوصل بما الى معرفة الراوى والمروى.
Artinya: “Ilmu Hadits adalah ilmu pengetahuan mengenai kaidah-kaidah yang menghantarkan kepada pengetahuan tentang rawi (periwayat) dan marwi (materi yang diriwayatkan).”
Definisi yang lain mengatakan bahwa Ilmu Hadits adalah :
هو علم بقوانين يعرف بها أحوال السند والمتن.
Artinya: “Ilmu Hadits adalah ilmu tentang kaidah-kaidah untuk mengetahui kondisi sanad dan matan.”
Ilmu Hadits adalah ilmu pengetahuan tentang sabda (perkataan atau ucapan) dan perilaku (gerak-gerik) jasmaniah Rasulullah SAW beserta sanad-sanadnya, untuk membedakan kesahehan dan kedho’ifan sebuah hadits, baik matan maupun sanadnya.
Ilmu Ushul Al-Hadits adalah suatu ilmu pengetahuan yang menjadi sarana untuk mengenal kesahehan, kehasanan dan kedho’ifan Hadits, matan maupun sanadnya.
Kegunaan mempelajari Ilmu Hadits, antara lain :
a.             Dapat mendalami akhlak Nabi Muhammad SAW baik dalam hal ibadah dan muamalah secara baik dan benar.
b.             Menjaga dan memelihara Hadits Nabi dari segala kesalahan dan penyimpangan.
c.             Menjaga kemurnian Syari’at Islam dari berbagai penyimpangan.
d.            Melaksanakan syari’at sesuai dengan Sunnah Nabi Muhammad SAW.
e.             Mengetahui upaya dan jerih payah para ulama dalam menjaga dan melestarikan Hadits Nabi Muhammad SAW.
f.              Dapat mengetahui istilah-istilah yang digunakan para ulama Hadits.
g.             Mengetahui kriteria yang digunakan para ulama Hadits dalam mengklasifikasikan keadaan Hadits, baik dari sisi kuantitas (jumlah) rawi, maupun kualitas (mutu) sanad dan matannya.
h.             Dapat mengetahui periwayatan yang maqbul (diterima) maupun yang mardud (ditolak).
i.               Dapat melakukan penelitian Hadits sesuai dengan kaidah-kaidah dan syarat-syarat yang disepakati para ulama.
j.               Mampu bersikap kritis dan proposional terhadap periwayatan Hadits Nabi Muhammad SAW.[10]
Pada garis besarnya Ilmu Hadits itu dibagi menjadi dua istilah, yaitu Ilmu Hadits Riwayat dan Ilmu Hadits Dirayat :
a.             Ilmu Hadits Riwayat adalah ilmu pengetahuan untuk mengetahui cara-cara penukilan  (pemindahan), pemeliharaan dan pendewaan apa-apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir Nabi Muhammad SAW.
Obyek kajian Ilmu Hadits Riwayah adalah bagaimana cara menerima, menyampaikan dan memindahkan Hadits kepada orang lain (mendewakan dalam suatu dewan Hadits) baik melalui matan maupun sanad Hadits.
Untuk menghindari adanya kemungkinan salah kutip terhadap apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW (perintis pertama Ilmu Hadits Riwayah: Muhammad bin Syihab Az-Zuhri).
b.             Ilmu Hadits Dirayah (Ilmu Mustholahul Hadits) adalah undang-undang (kaidah-kaidah) untuk mengetahui hal ihwal sanad, matan, cara-cara menerima dan menyampaikan Hadits, sifat-sifat rawi dan lain sebagainya.
Objek (Kajian) Ilmu Hadits Dirayah adalah meneliti perilaku perawi dan keadaan rawinya (sanad dan matannya).
Faedah dan tujuan ilmu ini adalah untuk menetapkan makbul dan mardudnya (diterima dan ditolaknya) suatu Hadits, yang selanjutnya diamalkan yang makbul (diterima) dan ditinggalkan yang mardud (ditolak).
Cabang Ilmu Hadits yang bersumber dari Sanad, antara lain: a). Ilmu Rijalul Hadits; b). Ilmu Thabaqatur Ruwah; c). Ilmu Tarikhul Hadits; d). Ilmu Jarh Wa Ta’dil.
Cabang Ilmu Hadits yang bersumber dari Matan, antara lain: a). Ilmu Gharibil Hadits; b). Ilmu Ababul Mutun; c). Ilmu Tawakhiul Hadits; d). Ilmu Talfiqul Hadits.
Cabang Ilmu Hadits yang bersumber dari Sanad dan Matan adalah Ilahil Hadits.
Secara garis besar, Ilmu Hadits itu dibagi menjadi dua: 1). Ilmu Hadits Riwayah; 2). Ilmu Hadits Dirayah. Sedangkan Asbabul Wurud adalah cabang dari Ilmu Hadits Riwayah.
Asbabul Wurud adalah ilmu yang menerangkan tentang sebab-sebab Nabi menurunkan hadits (sabdanya) dan masa-masa Nabi menurunkannya.
Pembagian Asbabul Wurud, ada Hadits yang mempunyai sebab disabdakan dan ada Hadits yang tidak mempunyai sebab-sebab disabdakan.

2.             Pengertian Hadits
Kata “Hadits” atau Al-Hadits menurut bahasa berarti Al-Jadid (sesuatu yang baru), lawan dari kata Al-Qadim (sesuatu yang lama). Kata Hadits juga berarti Al-Khabar (berita), yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain.[11]
Pada mulanya kata hadits banyak digunakan untuk makna cerita, komunikasi dan pesan (berita) secara umum, baik yang bersifat spiritual maupun yang lainnya, Ibnu Mas’ud mengatakan :
إن أحسن الحديث كتاب الله وخير الهدى هدى محمد.
Artinya: “Sebaik-baiknya Hadits adalah Al-Qur’an, dan sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad SAW.”
Hal ini dilakukan karena diilhami oleh riwayat yang disampaikan Abu Hurairah sebagai berikut :
حدثنا عبدالعزيز بن عبدالله قال: حدثني سليمان عن عمرو بن أبي عمرو عن سعيد بن أبي سعيد المقبري عن أبي هريرة أنه قال: قيل: يا رسول الله من أسعد الناس بشفاعتك يوم القيامة؟ قال رسول الله صلى الله عليه وعلى آله وسلم: «لقد ظننت يا أبا هريرة أن لا يسألني عن هذا الحديث أحد أول منك، لما رأيت من حرصك على الحديث، أسعد الناس بشفاعتي يوم القيامة من قال: لا إله إلا الله خالصا من قلبه أو نفسه».
Secara umum pengertian istilah Hadits Nabi Muhammad SAW adalah penuturan sahabat tentang Rasululllah, baik mengenai perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifat-sifat Nabi.[12]
Apabila penuturan sahabat menggunakan kata-kata yang digunakan Nabi, maka dinamakan riwayat bi al-lafdhi. Sedangkan apabila penuturan sahabat menggunakan redaksi sahabat sendiri, maka disebut riwayat bi al-makna.
Tetapi apabila yang dituturkan sahabat itu berupa perbuatan, taqrir, kebiasaan dan sifat-sifat Nabi, maka periwayatan berupa makna.
Dari sudut pandang kebahasaan, kata Hadits digunakan dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits itu sendiri. Dalam Al-Qur’an dapat dilihat dalam surat Ath-Thur ayat 34, sebagai berikut :
فليأتوا بحديث مثله إن كانوا صادقين.
Artinya: “Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al-Qur’an itu jika mereka orang-orang yang benar.” (QS. Ath-Thur: 34)
فلعلك باخع نفسك على ءاثرهم إن لم يؤمنوا بهذا الحديث أسفا.
Artinya: “Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati setelah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (Al-Qur’an).” (QS. Al-Kahfi: 6)
وأما بنعمة ربك فحدث.
Artinya: “Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu siarkan (berita).” (QS. Adh-Dhuha: 11)
Sedangkan dari sudut pandang istilah (terminologi), ahli Hadits dan ahli Ushul Al-Hadits berbeda dalam memberikan pengertian tentang Hadits. Ulama ahli Hadits mengatakan bahwa Hadits adalah :
أقوال النبي صلى الله عليه وسلم, وافعاله واحواله.
Artinya: “Segala perkataan Nabi Muhammad SAW perbuatan dan hal ihwal.”
Yang termasuk “hal ihwal” adalah segala pemberitaan tentang Nabi Muhammad SAW seperti yang berkaitan dengan himmah, karakteristik, sejarah kelahiran dan kebiasaan-kebiasaannya. Ulama ahli Hadits lain merumuskan dengan kalimat :
كل ما أثر عن النبي صلى الله عليه وسلم, من قول وفعل وتقرير وصفة.
Artinya: “Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir maupun sifat.”[13]`
ما أضيف الى النبي صلى الله عليه وسلم, قولا أوفعلا أوتقريرا أوصفة.
Artinya: “Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir maupun sifat.”[14]
Sementara itu Ahli Ushul memberikan pengertian Hadits yang lebih terbatas dari rumusan di atas. Menurut mereka adalah :
أقوال النبي صلى الله عليه وسلم, مما يصلح أن يكون دليلا لحكم شرعى.
Artinya: “Segala perkataan (aqwal) Nabi Muhammad SAW yang dapat dijadikan dalil untuk penetapan hukum syara’.”[15]
Dari pengertian di atas segala perkataan (aqwal) Nabi Muhammad SAW yang tidak ada relevansinya dengan hukum (tidak mengandung missi kerasulannya), seperti tentang cara berpakaian, berbicara, tidur, makan, minum (yang menyangkut hal ihwal Nabi), maka tidak termasuk Hadits.
Dalam arti luas, Hadits tidak hanya terbatas pada sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW semata sebagai (Hadits Marfu’), melainkan juga segala yang disandarkan kepada sahabat (Hadits Mauquf) dan tabi’in (Hadits Maqthu’). Sebagaimana dikatakan oleh At-Tirmidzi sebagai berikut :
قيل ان الحديث لا يختص بالمرفوع اليه صلى الله عليه وسلم بل جاء بالموقوف وهو ما أضيف الى الصحابى
والمقطوع وهو ما أضيف للتابعى.
Artinya: “Dikatakan (dari Ulama Ahli Hadits) bahwa Hadits itu bukan hanya untuk sesuatu yang ma’ruf (sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW) saja, melainkan juga untuk sesuatu yang mauquf (yang disandarkan kepada sahabat) dan yang maqthu’ (sesuatu yang disandarkan kepada tabi’in).[16]
Selain istilah Hadits, terdapat juga istilah Sunnah, Khabar dan Atsar. Ketiga istilah tersebut di antara para ulama disamping ada yang sependapat, ada juga yang berbeda pendapat, sebagaimana pengertian di bawah ini :
a.             Pengertian Sunnah
Sunnah menurut bahasa adalah :
السيرة والطريقة المعتادة حسنة كانت او قبيحة.
Artinya: “Jalan dan kebiasaan yang baik atau yang jelek.”[17]
السيرة حسنة كانت او سيئة.
Artinya: “Jalan (yang dijalani) baik yang terpuji atau tercela.”
Dapat juga diartikan dengan :
الطريقة المستقيمة.
Artinya: “Jalan yang kurus atau benar.”
Berkaitan dengan pengertian dari sudut pandang kebahasaan ini Rasulullah SAW bersabda :
من سن فى الاسلام سنة حسنة فله اجرها واجر من عمل بها بعده من غير ان ينقص من اجورهم شيئ. ومن سن فى الاسلام سنة سيئة كان عليه وزرها ووزر من عمل بها من بعده من غير ان ينقص من اوزارهم شيئ. (رواه مسلم)
Artinya: “Barangsiapa yang melakukan suatu perbuatan yang baik, maka ia akan mendapatkan imbalan (kebaikan) kebajikan (dari perbuatan itu), dan imbalan (yang seimbang dengan orang) yang mengikutinya setleah dia, dengan tidak dikurangi sedikitpun. Demikian juga, barangsiapa yang melakukan suatu perbuatan yang jelek, ia akan menanggung dosanya dan dosa orang yang mengikutinya, dengan tidak dikurangi dosanya sedikitpun.”[18] (HR. Muslim)
Berdasarkan pengertian harfiah di atas, maka Sunnah merupakan sebuah hukum tingkah laku yang ditimbulkan oleh aksi-aksi sadar. Oleh karena itu Sunnah juga merupakan hukum moral.
Sunnah sebagai jalan yang ditempuh baik bersifat fisik atau moral (hissi/maknawi).[19] Dari pemahaman makna ini, maka Sunnah dapat diartikan sebagai jalan hidup (way of life).
Secara umum Sunnah diartikan sebagai lawan dari bid’ah (inovasi).[20]
Bid’ah adalah suatu praktek yang baru (diadakan) dan tidak memiliki preseden pada praktek yang diteladankan Rasulullah dan sahabat.
Oleh karena itu, seseorang dapat dikatakan (disebut) Ahlu Sunnah, apabila ia melakukan praktek yang sesuai dengan apa yang dicontohkan Rasulullah SAW dan sahabatnya, baik bersumber pada nash Al-Qur’an atau lainnya. Sebaliknya seorang disebut Ahli Bid’ah, apabila ia melakukan praktek keagamaan yang bertentangan dengan praktek Nabi Muhammad SAW.
Dengan demikian ada sunnah yang bersumer dari Al-Qur’an dan ada yang bersumber dari Hadits, yang dari Al-Qur’an disebut Sunnah Ilahiyah (Qur’aniyah) dan yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW disebut dengan Sunnah Nabawiyah.
Menurut Mahmud Salthut, sunnah Nabi dikategorikan menjadi dua macam, yaitu Sunnah Tasyri’iyah dan Sunnah Ghairu Tasyri’iyah.
Sunnah Tasyri’iyah dibagi menjadi tiga bagian, sebagai berikut :
1)             Nabi kapasitasnya sebagai Rasulullah SAW yang bertugas menyampaikan missi kenabiannya, seperti penjelasan beliau terhadap maksud Al-Qur’an, tentang hukum halal dan haram, tentang aqidah, akhlak dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Sunnah semacam ini mengikat secara umum kepada setiap individu muslim sampai hari qiyamat.
2)             Nabi kapasitasnya sebagai pemimpin masyarakat muslim, imam (Kepala Negara), seperti pendistribusian kas negara, pengiriman pasukan, pembagian rampasan, distribusi logistik dan pengangkatan kepala daerah. Sunnah semacam ini tidak mengikat secara umum kepada sebelum legitimasi terlebih dahulu dari kepala negara (imam), dengna mengedepankan konsep “kondisional”.[21]
3)             Nabi kapasitasnya sebagai Hakim (Qodli) yang memutuskan perkara perselisihan dan persengketaan yang terjadi di kalangan umat. Sunnah Nabi yang demikian, tidak mengikat kepada setiap individu muslim secara langsung, sebelum mendapat legitimasi dari hakim.
Sedangkan Sunnah Ghairu Tasyri’iyah adalah apa yang berasal dari Nabi dalam kapasitasnya sebagai basyar (manusia)[22], yang meliputi :
1)             Perbuatan Nabi untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia, seperti makan, minum, tidur, sandang, pangan, papan dan lain sebagainya.
2)             Pengalaman keseharian Nabi yang berkaitan dengan urusan dunia, seperti pertanian, perdagangan, kesehatan, mode pakaian, cara makan dan lain sebagainya.
Menurut Mahmud Salthut Sunnah Nabi dalam hubungannya dengan kapasitas Nabi sebagai basyar ini tidak berfungsi sebagai tasyri’ (Hukum Islam) yang mengikat.
Dengan demikian yang dimaksud :
1)             Sunnah Tasyri’iyah adalah sunnah yang bersifat penetapan ajaran, yang mengikat kepada kaum muslimin.
2)             Sunnah Ghairu Tasyri’iyah adalah Sunnah yang tidak bersifat sebagai penetapan ajaran agama (Islam) yang mengikat kaum muslim.
Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa Sunnah Nabi ada yang bersumber dari kerasulan dan ada Sunnah Nabi yang berasal dari basyariyah Muhammad.
Berbeda dengan pengertian kebahasaan di atas, dalam Al-Qur’an, kata Sunnah mengacu kepada arti “ketetapan (hukum) Allah”. Sebagaimana surat Al-Kahfi sebagai berikut :
وما منع الناس ان يؤمنوا اذ جاءهم الهدى ويستغفروا ربهم الا ان تأتيهم سنة الاولين او يأتيهم العذاب
 قبلا.
Artinya: “Dan tidak ada sesuatupun yang menghalangi manusia dari beriman, ketika petunjuk telah datang kepada mereka, dan dari memohon ampun kepada Tuhannya, kecuali (keinginan menanti) datangnya hukum (Allah yang telah berlalu pada) umat-umat yang dahulu atau datangnya adzab atas mereka yang nyata.” (QS. Al-Kahfi: 55)
Sedangkan Sunnah dalam perspektif terminologi (istilah) adalah :
كل ما اثر عن النبي صلى الله  عليه وسلم من قول او فعل او تقرير اوصفة خلقية او خلقية او سيرة سواء كان ذلك قبل البعثة ام بعدها.
Artinya: “Segala yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, tabi’at, budi pekerti dan perjalanan hidupnya, baik sebelum diangkat menjadi Rasul SAW (seperti ketika bersemedi di gua Hira) maupun sesudahnya.”[23]
Menurut pengertian di atas, kata Sunnah berarti sama dengan kata Hadits dalam pengertian terbatas (sempit). Dengan demikian jumlah Hadits secara kuantitatif jauh lebih banyak dibanding dengan kata Sunnah.
Berbeda dengan Ahli Hadits, Ahli Ushul mendefinisikan Sunnah dengan :
كل ما صدر عن النبي صلى الله عليه وسلم غير القران الكريم من قول او فعل او تقرير مما يصلح
ان يكون دليلا لحكم شرعي.
Artinya: “Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW selain Al-Qur’an Al-Karim, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrirnya yang pantas untuk dijadikan dalil bagi penetapan hukum syara’.”[24]
b.             Pengertian Khabar
Kata Khabar (الخبر) menurut bahasa berarti “warta” atau “berita” yaitu “sesuatu yang diberitakan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain” (ما يتحدث به وينتقل). Sehingga memiliki makna yang sama dengan kata “hadditsah” (حديثة). Dari sudut pendekatan bahasa ini, kata Khabar sama artinya dengan Hadits. Ada juga yang mengatakan bahwa Hadits lebih umum dari pada Khabar. Keduanya berlaku kaidah “umumun wa khushushun mutlaq” (yaitu bahwa tiap-tiap Hadits dapat dikatakan Khabar, tetapi tidak setiap Khabar dapat dikatakan Hadits).[25]
Dengan demikian makna Khabar lebih luas dari pada Hadits, karena mencakup Hadits Marfu’, Mauquf dan Maqthu’. Khabar sebagai istilah berita yang selain dari Nabi Muhammad SAW.
Dari arti kata inilah, kata “al-khabar” (الخبر) yang diambil dari kata dasar “al-ikhbar” (الاخبار) ini berasal, sehingga makna yang timbul, jika dihubungkan dengan istilah “haddasana bi haditsin” (حدثنا بحديث) adalah makna “ahbarana bi hadditsin” (أخبرنا بحديث) artinya “dia mengkhabarkan suatu berita kepada kami”.[26] Sebagaimana firman Allah di bawah ini :
فليأتوا بحديث مثله ان كانوا صادقين. (34)
Artinya: “Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al-Qur’an itu jika mereka orang-orang yang benar.” (QS. At-Thur: 34)
Sedangkan menurut istilah para Ahli Hadits berbeda-beda dalam memberikan definisi sesuai latar belakang dan disiplin keilmuan masing-masing, di antaranya adalah :
1)             Sebagian ulama mengatakan bahwa Khabar adalah suatu yang datangnya dari selain Nabi Muhammad SAW, sedangkan yang dari Nabi Muhammad SAW disebut Hadits.
2)             Ulama lain mengatakan bahwa Hadits lebih luas dari pada Khabar, sebab setiap Hadits dikatakan Khabar.
3)             Ahli hadits memberikan definisi sama antara Hadits dengan Khabar, yaitu “segala sesuatu yang datang dari Nabi Muhammad SAW, sahabat dan tabi’in, baik perkataan, perbuatan dan ketetapannya”.[27]
Dari definisi di atas, Al-Tirmidzi berpendapat bahwa istilah Hadits Marfu’, Mauquf dan Maqthu’ merupakan klasifikasi Hadits dilihat dari sumber beritanya, sehingga dapat dibedakan antara Hadits yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW dan yang hanya dari sahabat dan tabi’in, sekalipun demikian pengklasifikasian ini dapat juga dilihat dari sisi lain, seperti dari sisi kualitasnya maupun kuantitasnya (shahih, hasan dan dho’if atau mutawatir dan ahad.[28]
c.             Pengertian Atsar
Atsar dalam bahasa artinya “sisa” (بقية الشيئ)[29], atau bekas sesuatu atau sisa sesuatu. Dalam istilah sejarah, Atsar dimaknai sebagai “petilasan” (bukti-bukti yang menunjukkan adanya aktifitas makhluk hidup di daerah tertentu). Makna lain dari kata Atsar adalah “nukilan” (sesuatu yang dipindahkan atau diriwayatkan). Sedangkan menurut istilah (terminologi) adalah :
ما روى عن الصحابة اطلاقه على كلام النبي ايضا.
Artinya: “Segala sesuatu yang diriwayatkan dari sahabat dan boleh juga disandarkan kepada perkataan Nabi Muhammad SAW”.[30]
Mengacu makna pertama, para ulama sering mengistilahkan Atsar sebagai sesuatu yang merujuk pada perkataan sahabat, tabi’in dan ulama salaf. Sedangkan apabila merujuk pada makna nukilan, maka istilah Atsar sering dipakai untuk menyebut berita dari Nabi Muhammad SAW seperti do’a ma’tsur (ma’tsurat) merujuk pada do’a yang diajarkan Nabi Muhammad SAW.
Tetapi dalam tafsir, istilah tafsir bi al-ma’tsur merujuk pada penafsiran Nabi Muhammad SAW, sahabat, tabi’in dan ulama salaf yang memiliki sanad yang jelas.
Dengan demikian penggunaan istilah Atsar di berbagai pemikiran keagamaan dimaknai sesuai perspektif masing-masing bidang studi. Tetapi pada umumnya merujuk pada perkataan sahabat, tabi’in dan ulama salaf. Ulama salaf adalah mereka yang hidup sebelum abad IV H. Sedangkan ulama yang hidup pada abad IV ke atas dinamai ulama kholaf.

C.           Struktur Riwayat Hadits
Struktur periwayatan Hadits tidak dapat terlepas dari 2 (dua) unsur pokok yang harus ada dalam Hadits, yaitu Sanad dan Matan. Keduanya memiliki kaitan yang sangat erat dan tidak dapat dipisahkan. Satu berita tentang Rasulullah SAW (matan) tanpa ditentukan rangkaian (susunan sanadnya), yang demikian itu tidak dapat disebut Hadits.
Demikian sebaliknya, suatu susunan sanad, meskipun bersambung sampai kepada Rasulullah SAW apabila tanpa ada berita yang dibawanya, juga tidak dapat disebut Hadits.
Kedua istilah (sanad dan matan) di atas merupakan dua unsur pokok Hadits, hal ini muncul dan diperlukan setelah Rasulullah SAW wafat. Hal ini sangat penting karena berkaitan dengan perlunya penelitian terhadap otentitas dan orisinilitas isi berita itu sendiri, apakah benar berita itu sumbernya dari Rasulullah SAW atau bukan.

D.           Pengertian Periwayatan, Sanad & Matan
Istilah periwayatan sama artinya dengan istilah Arab Al-Riwayat (الرواية). Hadits Nabi Muhammad SAW yang terhimpun dalam kitab-kitab Hadits Shahih Bukhari, Shahih Muslim dan lain-lain, telah melalui proses kegiatan riwayat Hadits. Al-Riwayat (الرواية) adalah masdar dari kata kerja Rawia (راوي) dan dapat berarti Al-Naql (النقل) (penukilan), Al-Dzikir (الذكر) (penyebutan), Al-Fatl (الفتحل) (pintalan) dan Al-Istisyqo’ (الاستشقاء) (pemberian minum sampai puas).[31]
Riwayat dalam bahasa Indonesia diartikan sama dengan kata “sejarah” atau “cerita”, sehingga arti kata “periwayatan” adalah “suatu yang diriwayatkan” atau riwayat (dalam istilah Arab).[32]
Dalam istilah Ilmu Hadits, yang dimaksud dengan Al-Riwayat ialah kegiatan penerimaan dan penyampaian Hadits, serta penyandaran Hadits kepada rangkaian mata rantai para perawinya melalui bentuk-bentuk penerimaan dan penyampaian Hadits yang bersifat tertentu.[33]
Orang yang telah menerima Hadits dari seorang periwayat, tetapi dia tidak menyampaikan Hadits kepada orang lain, maka dia tidak dapat disebut sebagai orang yang telah melakukan periwayatan Hadits. Demikian juga seseorang yang telah menyampaikan Hadits yang telah diterimanya dari orang lain, tetapi tidak menyebut rangkaian para perawatnya, maka orang tersebut tidak dapat dinyatakan sebagai orang yang telah melakukan periwayatan Hadits.[34]
Dengan demikian dapat disimpulkan (sementara) bahwa unsur-unsur yang harus ada dalam periwayatan Hadits adalah :
1.             Adanya kegiatan menerima Hadits dari perawinya. Hal ini dikenal dengan istilah “rawi” atau “perawi” (راوى).
2.             Adanya kegiatan penyampaian Hadits kepada orang lain. Hal ini dikenal dengan istilah “penyampaian” atau “marwiy” (مروى).
3.             Adanya susunan mata rantai para perawi ketika Hadits disampaikan kepada orang lain. Hal ini dikenal dengan istilah “sanad” (سند) atau “isnad (إسناد).
4.             Adanya kalimat (teks Hadits) yang menjadi pokok pembicaraan. Hal ini dikenal dengan istilah “matan” (متن).[35]
5.             Adanya kegiatan yang berkenaan dengan seluk beluk penerimaan dan penyampaian hadits. Hal ini dikenal dengna istilah “tahammul wa al-ada’ al-hadits” (تحمل وادأ الحديث).[36]
Dengan demikian, seseorang dapat dikatakan sebagai “perawi Hadits” apabila telah melakukan kegiatan yang berkenaan dengan seluk beluk penerimaan dan penyampaian Hadits yang disampaikannya lengkap dengan matan dan sanadnya.[37]
Contoh Hadits status hukum membaca Basmalah dalam shalat sebagai berikut :
No
Mukharij
Sanad
Matan
1.
Al-Tirmidzi
a.              Muhammad bin Yahya
b.             Ali bin Hujr
لا صلاة لمن لم يقرأ بفاتحة الكتاب
2.
Muslim
a.              Abu Bakar bin Abi Syaibah
b.             Amr bin Naqid
c.              Ishaq bin Ibrahim
لا صلاة لمن لم يقرأ بفاتحة الكتاب


a.              Ibn Al-Syarah Abu Al-Thahir
b.             Harmalah bin Yahya
لا صلاة لمن لم يقترئ بفاتحة الكتاب


a.              Al-Hasan bin Ali Al-Halwani
b.             Qutaiban bin Sa’id
لا صلاة لمن لم يقرأ بأم القران
3.
Abu Dawud
a.              Ibnu Al-Syarah Abu Al-Thahir
لا صلاة لمن لم يقرأ بفاتحة الكتاب
4.
Ibnu Majah
a.              Hisyam bin Ammar
b.             Sahl bin Abi Sahl
c.              Ishaq bin Ismail
لا صلاة لمن لم يقرأ فبها بفاتحة الكتاب
5.
Al-Darimi
a.              Ustman bin Ammar
من لم يقرأ بأم القران فلا صلاة له

E.            Pengertian Matan
Matan Hadits adalah bahasa arab yang menurut bahasa mengandung arti: “tanah yang tinggi”
(ما صلب وارتفع من الارض).
Sedangkan Matan menurut istilah adalah :
الفاظ الحديث التى تتقوم بها المعانى.
Artinya: Lafadh-lafadh Hadits yang mengandung makna-makna tertentu.
ما ينتهى اليه السند من الكلام.
Artinya: Suatu kalimat yang menjadi tempat berakhirnya sanad.
Dengan pengertian di atas, maka yang dimaksud Matan adalah materi/lafadh/teks/redaksi Hadits, yang oleh penulisnya ditempatkan setelah menyebutkan sanad sebelum perawi atau mudawwin (orang yang membukukan dan menghimpun Hadits.[38]

F.            Pengertian Isnad, Sanad, Musnid Dan Musnad
1.             Pengertian Isnad
Isnad adalah :
الاسناد هو رفع الحديث الى قائله.
Artinya: Isnad adalah mengangkat Hadits kepada yang mengatakannya (perawi pertama).[39]
الاسناد هو اضافة الحديث الى قائله ونسبته اليه.
Artinya: Isnad adalah menyandarkan Hadits kepada orang yang mengatakannya (perawi pertama) dan menisbatkan (menghubungkan)-nya kepada perawi pertama.[40]
الاسناد هو حكاية رجال الحديث الذين رووه واحدا عن واحد الى رسول الله صلى الله عليه وسلم.
Artinya: Isnad adalah hikayah para tokoh Hadits yang meriwayatkan seseorang dari seseorang sampai kepada Nabi Muhammad SAW.[41]
Isnad merupakan suatu hal yang sangat penting karena ilmu ini hanya dimiliki oleh orang Islam. Isnad merupakan sistem akses berita dari orang yang dapat dipercaya kepada orang terpercaya lainnya, sampai kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pemilik dan sumber awalnya, sebagaimana perkataan Imam Muslim sebagai berikut :
الاسناد من الدين ولو لا الاسناد لقال من شاء ما شاء.
Artnya: Isnad itu sebagian dari Agama, seandainya Isnad itu tidak ada, tentu orang berkata apa saja yang telah ia kehendaki.[42]
2.             Pengertian Sanad
Sanad adalah Bahasa Arab yang berasal dari kata dasar “sanada, yasnudu” (سند, يسند), artinya: “sandaran” atau “tempat bersandar” atau “tempat berpegang” atau “yang dapat dipercaya” atau “yang sah”. Karena Hadits itu selalu bersandar kepadanya dan dipegangi atas kebenarannya.[43]
Sedangkan menurut istilah adalah :
السند هو سلسلة الرجال الموصولة للمتن.
Artinya: Sanad adalah silsilah mata rantai orang-orang yang menghubungkan kepada Matan Hadits.[44]
السند هو سلسلة الرواة الذين نقلوا المتن عن صدره الاول.
Artinya: Sanad adalah mata rantai para perawi yang memindahkan Hadits dari sumbernya yang pertama.[45]
Dari definisi di atas, yang dimaksud dengan istilah “silsilah orang” adalah susunan atau rangkaian mata rantai orang-orang yang menyampaikan materi Hadits tersebut, mulai dari yang disebut pertama hingga sampai kepada Rasulullah SAW, dimana seluruh ucapan, perbuatan, pengakuan dan lainnya merupakan suatu materi atau Matan Hadits.[46]
Oleh karena itu yang dinamakan sanad (hanya)-lah yang berlaku pada sederetan mata rantai orang-orang, bukan dari sudut pandang pribadi secara perorangan, sebab sebutan untuk perorangan (secara pribadi) yang menyampaikan Hadits adalah disebut “rawi” atau “perawi”.[47]
Dari sinilah “sanad” dijadikan sebagai objek penelitian ulang (takhrij) Hadits, mengingat ia memiliki nilai yang sangat penting dalam periwayatan Hadits, sehingga dapat ditentukan status shahih, hasan atau dha’ifnya sebuah Hadits, sehingga kemurnian ajaran Islam dapat terjaga dengan baik, sebagaimana yang diungkapkan oleh para muhadditsin sebagai berikut :
a.             Sufyan Al-Tsauri menegaskan :
الاسناد من سلاح المؤمن فاذا لم يكن معه سلاح فبأي شيئ يقاتل.
Artinya: Sanad adalah senjata bagi orang mu’min, jika tidak ada senjata bersamanya, maka dengan apa ia berperang menghadapi musuhnya.[48]
b.             Abdullah bin Mubarak (sama dengan pendapat Imam Muslim) memberikan pendapat :
الاسناد من الدين ولو لا  الاسناد لقال من شاء ما شاء.
Artinya: Isnad itu sebagian dari Agama, seandainya Isnad itu tidak ada, tentu orang berkata apa saja (tentang agama) yang telah ia kehendaki.[49]
Sebagian ulama berpendapat bahwa isnad dan sanad itu memiliki arti yang sama, artinya jalan periwayatan Hadits dari orang perorangan sampai kepada Nabi Muhammad SAW sebagai sumber pertama.
3.             Pengertian Musnid Dan Musnad
Yang dimaksud Musnid adalah :
المسند هو من يروى الحديث باسناده سواء كان عنده علم به او ليس له الا مجرد روايته.
Artinya: Orang yang meriwayatkan Hadits dengan isnadnya, baik mengetahui atau tidak mengetahui terhadap matan itu, tetapi ia sendiri menjadi sumber berita itu.[50]
Sedangkan Musnad, dapat diartikan dengan beberapa pengertian, di antaranya sebagai berikut :
a.             Musnad sebagai sebutan nama kitab, seperti Kitab Musnad Imam Ahmad dan lain sebagainya, artinya sebuah kitab yang di dalamnya terkumpul beberapa Hadits yang disandarkan kepada sahabat.
b.             Musnad disamakan artinya dengan kata Isnad, sehingga menjadi suatu sebutan Musnad, seperti Musnad Al-Syihab, Musnad Al-Firdaus, artinya musnad-musnad Hadits mereka.[51]
c.             Takhrij Hadits
Istilah Takhrij dalam perspektif kebahasaan memiliki beberapa arti, pertama berarti Al-Istimbath (mengeluarkan sesuatu dari sumbernya), kedua berarti At-Tadrib (latihan), ketiga At-Taufih (pengarahkan, menjelaskan duduk persoalan).[52] Demikian juga kata Takhrij berasal dari kata kharaja, yukharriju yang mengandung arti. Sebagaimana disampaikan Mahmud At-Thahhan bahwa Takhrij adalah :
إجمتاع الامرين المتضادين فى شيئ واحد.
Artinya: Berkumpulnya dua persoalan yang bertentangan dalam satu hal”.[53]
Sedangkan pengertian Takhrij secara terminologi adalah mengungkapkan atau mengeluarkan Hadits kepada orang lain dengan menyebutkan para perawi yang berada dalam rangkaian sanadnya sebagai orang yang mengeluarkan Hadits tersebut. Misalnya: Hadza Al-Hadits Akhrajahu Al-Bukhari (akhrajahu Al-Bukhari). Hadits ini dikeluarkan oleh Al-Bukhari.
Demikian juga kata Takhrij, mengandung arti “ikhraj al-hadits min buthuni al-kutub wa riwayatuhu” (mengeluarkan sejumlah Hadits dari kandungan kitab-kitabnya dan meriwayatkannya kembali).[54]
Pengertian lain kata Takhrij berarti “ad-dalalah ala mashadir al-hadits al-ashiliyah wa azzuhu ilaihi” (petunjuk yang menjelaskan kepada sumber-sumber asal Al-Hadits).
Berdasarkan pengertian Takhrij tersebut di atas, maka menurut Mahmud Thahhan sebagai berikut :
الدلالة على موضع الحديث فى مصادره الاصلية التى اخرجته بسنده ثم بيان مرتبته عند الحجة.
Artinya: “Petunjuk tentang tempat atau letak Hadits pada sumber aslinya, yang diriwayatkan dengan menyebut sanadnya, kemudian dijelaskan martabat atau kedudukannya manakala diperlukan.[55]
Dari pengertian di atas, maka takhrij berarti melakukan 2 (dua) hal, yaitu :
1)             Berusaha menemukan para penulis Hadits itu sendiri dengan rangkaian silsilah sanadnya dan menunjukkan hasil karya-karyanya.
2)             Memberikan penilaian kualitas Hadits, apakah Hadits tersebut shahih atau tidak.
d.            Tujuan dan kegunaan Takhrij Hadits
Tujuan pokok Takhrij Hadits adalah untuk mengetahui sumber asal Hadits yang ditakhrij, untuk mengetahui kualitas Hadits maqbul atau mardud (diterima atau ditolaknya suatu Hadits).
Sedangkan kegunaan Takhrij Hadits adalah :
1)             Dapat mengetahui keadaan Hadits sebagaimana yang dikehendaki dan yang akan dicapai sebagaimana tujuan pokok Takhrij Hadits.
2)             Dapat mengetahui keadaan persambungan sanad Hadits dan silsilahnya berapapun banyaknya.
3)             Dapat meningkatkan kualitas suatu Hadits dari dho’if menjadi hasan, karena ditemukan syahid atau mutabi’.
4)             Dapat mengetahui bagaimana pandangan para ulama terhadap keshahihan suatu Hadits.
5)             Dapat membedakan mana para perawi yang ditinggalkan atau yang dipakai.
6)             Dapat menetapkan suatu Hadits yang dipandang mubham menjadi tidak mubham, karena ditemukan beberapa jalan sanad atau sebaliknya.
7)             Dapat menetapkan Hadits Muttashil dan Munfashil (bersambung dan putus) kepada Hadits yang diriwayatkan dengan menggunakan istilah “at-tahamul wa al-ada’”.
8)             Dapat memastikan identitas para perawi, baik yang berkaitan dengan nama kunyah (julukan), laqab (gelar) atau nasab (keturunan), dengan nama yang jelas.[56]
e.             Sejarah Takhrij Hadits
Proses pertama kali men-takhrij Hadits muncul dan diperlukan pada masa ulama muta’akhirin. Sedangkan ulama mutaqaddimin dalam mengutip Hadits tidak pernah membicarakan dan menjelaskan dari mana Hadits itu dikeluarkan, dan bagaimana kualitas Hadits itu.
Takhrij Hadits muncul dan diperlukan ketika para ulama merasa mendapat kesulitan untuk merujuk Hadits-Hadits yang beredar di berbagai kitab dengan disiplin ilmu agama yang bermacam-macam. Dari sinilah muncul di antara ulama yang mulai membicarakan hal itu. Mereka mengeluarkan Hadits yang dikutip dari kitab-kitab lain dengan merujuk kepada sumbernya yang di dalamnya membicarakan keshahihan Hadits. Dari perkembangan inilah kemudian muncul kitab-kitab Takhrij.
Ulama yang pertama kali melakukan Takhrij menurut Mahmud Thahhan adalah Al-Khathib Al-Baghdadi (1463 H). Kemudian dilakukan oleh Muhammad bin Musa Al-Hazimi (w. 584 H) dengan karyanya Takhrij Al-Hadits Al-Muhadzab. Beliau men-takhrij kitab fiqh Syafi’I karya Abu Ushaq Asy-Syirazi. Ada juga ulama lainnya, seperti Abu Qasim Al-Husaini dan Abdul Qasim Al-Qasim Al-Mahwarani. Karya kedua ulama ini hanya berupa mahthuthah (manuskrip) saja. Berikutnya cukup banyak bermunculan kitab-kitab tersebut yang berupaya men-takhrij kitab-kitab Hadits dengan berbagai disiplin ilmu agama.
f.              Metodologi men-takhrij Hadits
Ada 5 (lima) metode (jalan) untuk men-takhrij Hadits :
1)             Men-takhrij melalui pengenalan nama sahabat perawi Hadits.
Al-Musnad adalah kitab yang disusun berdasarkan nama-nama sahabat yang meriwayatkan Hadits. Susunan nama-nama sahabat dalam kitab Al-Musnid tidak sama, ada yang disusun secara alfabetis, ada yang disusun berdasarkan kelompok urutan waktu masuk Islam atau keutamaan sahabat, di samping ada pula yang disusun berdasarkan keutamaan kabilah atau kota.[57]
2)             Men-takhrij melalui pengenalan awal lafadh atau Matan Hadits.
Dengan mengenal awal Matan Hadits, maka Hadits tersebut dapat ditakhrij dengan menggunakan bantuan beberapa Kitab Hadits yang dapat merujuk pada sumber utamanya.
3)             Men-takhrij melalui pengenalan kata-kata
Melalui pengenalan kata-kata yang tidak banyak beredar atau dikenal dalam pembicaraan, tetapi merupakan bagian dari Matan Hadits (letak kata-kata tersebut dapat dimana saja, di awal, di tengah, maupun di akhir Matan).
Sumber yang dijadikan diberikan kode dengan sebutan :
خ   (Al-Bukhari)
م    (Muslim)
ت  (At-Turmudzi)
د    (Abu Dawud)
ن   (An-Nasa’i)
جه (Ibnu Majah)
ط   (Al-Muwatha’ Malik)
حم (Musnad Ahmad bin Hambal)
دى (Musnad Ad-Darimi)
Rumusan di atas diikuti dengan penjelasan isi kitab dan nomor bab kitab yang dirujuk.
4)             Melalui pengamatan tertentu terhadap apa yang terdapat dalam suatu Hadits, baik Matan atau Sanad.
g.             Mukharij
Kitab-kitab Hadits yang beredar di tengah-tengah masyarakat (sekarang ini) sudah dijadikan sebagai pegangan umat Islam, bahkan sebagai sumber hukum Islam kedua setelah Al-Qur’an, padahal kitab-kitab tersebut disusun oleh para Mukharij setelah Nabi Muhammad SAW wafat (11 H/632 M) dan jarak antara wafatnya Nabi Muhammad SAW dengan para Mukharij terjadi sangat lama (± 90 tahun), banyak persoalan yang muncul dan sangat beragam, baik yang berkaitan dengan masalah keagamaan, ekonomi, budaya, maupun politik, sehingga membuat keadaan Hadits (boleh jadi) validitas dan orisinilitas (sangat mungkin) terjadi kesalahan dan menyalahi apa yang sebenarnya berasal dari Nabi Muhammad SAW sehingga akhirnya muncul pertanyaan: “Periwayatan Hadits hasil koleksi para Mukharij yang telah terhimpun di dalam kitab-kitab koleksi mereka dapat dijadikan sebagai hujjah atau tidak…?”.
h.             Bentuk Matan Hadits
Dilihat dari bentuk Matannya, Hadits Nabi Muhammad SAW ada yang berupa :
1)             Jami’ Al-Kalim
Jamaknya “Jawami’ Al-Kalim” (جمع الكلم/جوامع الكلم), yaitu ungkapan yang singkat, namun penuh makna.
Kemampuan Nabi Muhammad SAW mengungkapkan Jawami’ Al-Kalim. Nabi bersabda :
بعثت بجوامع الكلم. (رواه البخارى ومسلم وغيرهما عن أبى هريرة)
Artinya: “Saya diutus (oleh Allah SWT) dengan kemampuan menyatakan ungkapan-ungkapan yang singkat, tetapi penuh makna.” (HR. Al-Bukhari, Muslim dan lain-lain dari Abu Hurairah)[58]
الحرب خدعة. (رواه البخرى ومسلم وغيرهما عن جابر بن عبد الله)
Artinya: “Perang itu siasat.” (HR. Al-Bukhari, Muslim dan lain-lain dari Jabir bin Abdullah)[59]
كل مسكر خمر وكل مسكر حرام. (رواه البخرى ومسلم وغيرهما عن أبى عمر بلفظ مسلم)
Artinya: “Setiap (minuman) yang memabukkan itu khamr dan setiap (minuman) yang memabukkan adalah haram.” (HR. Al-Bukhari, Muslim dan lain-lain dari Ibnu Umar dengan lafadh dari riwayat Muslim)[60]
... ان الرضاعة تحرم ما يحرم من الولادة. (رواه البخرى ومسلم وغيرهما عن عائسة)
Artinya: “Sesungguhnya susuan itu mengharamkan apa yang menjadi haram karena kelahiran.” (HR. Al-Bukhari, Muslim dan lain-lain dari Aisyah)[61]
2)             At-Tamsil (perumpamaan) (التمثل)
المؤمن للمؤمن كالبنيان يشد بعضه بعضا. (رواه البخرى ومسلم وغيرهما عن أبى موسى الاشعرى)
Artinya: “Orang yang beriman terhadap orang yang beriman lainnya ibarat bangunan, bagian yang satu memperkokoh terhadap yang lainnya.” (HR. Bukhari, Muslim dan Turmudzi, dari Abu Musa Al-Asy’ari)
مثل المؤمنين فى توادهم وتراحمهم وتعاطفهم مثل الجسد إذا اشتكى منه عضوتداعى له سائر الجسد بالسهر والحمى. (متفق عليه عن النعمان بن بشير)
Artinya: “Perumpamaan bagi orang-orang yang beriman dalam hal belas kasih, saling mencintai, dan saling menyayangi antara mereka adalah bagaikan tubuh. Apabila ada bagian tubuh yang mengeluh karena sakit,aka seluruh tubuh akan merasakan sakit (keluhan), sehingga tidak dapat tidur karena rasa sakit (demam).” (HR. disepakati oleh Al-Bukhari, Muslim dan Al-Nu’man bin Basyir)
إنما المؤمنون إخواة فأصلحوا بين أخوايكمج واتقوا الله لعلكم ترحمون.
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara, sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah kepada Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-Hujurat: 10)
من حج لله فلم يرفث ولم يفسق رجع كيوم ولدته أمه. (رواه البخارى ومسلم وغيرهما عن أبى هريرة)
Artinya: “Barangsiapa yang melaksanakan ibadah haji karena Allah semata, dia tidak melakukan pelanggaran seksual dan dan tidak berbuat fasik, maka niscaya dia kembali (dalam keadaan bersih dari dosa dan kesalahan) bagaikan bayi yang baru lahir dari ibunya.” (HR. disepakati oleh Al-Bukhari, Muslim dan lain-lain dari Abu Hurairah)[62]
الدنيا سجن المؤمن وجنة الكافر. (رواه البخارى والترمذى وابن ماجه واحمد بن حنبل عن أبى هريرة)
Artinya: “Dunia itu penjaranya bagi orang-orang yang beriman dan surganya bagi orang-orang kafir.”[63]
Ada kalangan (sebagian) ulama mengatakan bahwa teks Hadits di atas lemah (dha’if), karena isinya dianggap bertentangan dengan petunjuk umum agama Islam yang mendorong pemeluknya untuk bekerja keras, dalam untuk meraih dunia dan akhirat.
3)             Ar-Ramzi (bahasa simbolik/simbol-simbol) (الرمزى)
Di bawah ini ada beberapa Hadits yang mengandung ungkapan simbolis, sebagai berikut :
عن ابن عمر ان رسول الله صلى الله عليه وسلم ذكر الدجال بين ظهراني الناس, فقال
إن الله تعالى ليس بأعور. الا, وان المسيح الدجال أعور العين اليمنى كأن عينه عنبة طائفة.
(رواه البخارى ومسلم وغيرهما)
Artinya: HR. dari Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah SAW menyebut Al-Masih Al-Dajjal  di hadapan orang banyak, kemudian beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak buta sebelah mata. Ketahuilah bahwa sesungguhnya Al-Masih Al-Dajjal itu buta matanya sebelah kanan, sedangkan matanya seperti buah anggur yang timbul.”[64] (HR. Bukhari, Muslim dan lain-lain)
ينزل ربنا تبارك وتعالى كل ليلة الى السماء الدنيا حين يبقى ثلث الليل الاخر يقول: من
 يدعونى فأستجيب له, من يسألنى فأعطيه, ومن يستغفرنى فاغفر له.
(متفق عليه عن أبى هريرة)
Artinya: Tuhan kita (Allah SWT) setiap malam turun ke langit dunia pada saat malam di pertiga akhir, Allah berfirman “Barangsiapa yang berdo’a kepada-Ku niscaya Aku kabulkan do’anya itu, barangsiapa meminta (sesuatu) kepada-Ku niscaya Aku memberinya, (dan) barangsiapa meminta ampunan kepada-Ku niscaya Aku mengampuninya.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)
المؤمن يأكل فى معى واحد, والكافر يأكل فى سبعة أمعاء. (رواه البخارى والترمذى واحمد
عن أبى عمر)
Artinya: “Orang yang beriman itu kalau makan dengan satu usus (perut), sedangkan orang kafir kalau makan dengan tujuh usus (perut).” (HR. Al-Bukhari, Al-Turmudzi dan Ahmad dari Ibnu Umar)
4)             Al-Muhaddatsah (bahasa percakapan/dialogis) (المحدثة)
أن رجلا سأل النبي صلى الله عليه وسلم: أي الاسلام خير؟ قال: تطعم الطعام وتقرأ السلام على من عرفت ومن لمتعرف. (متفق عليه عن عبد الله بن عمر)


[1] M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahehan Sanad Hadits, Bulan Bintang, (Jakarta: 1988), hlm. 107-108.
[2] M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, Bintang Bulan, (Jakarta: 1992) hlm. 12 & 16.
[3] Subhi As-Shalih, Ulum Al-Hadits Wa Musthalahuh, (Bairut: Dar Al-Ilm Li Al-Malayin: 1988), hlm. 44.
[4] M. Syuhudi Ismail, Kaedah, hlm. 92-96.
[5] M. Thahir Al-Jawabi, Juhud Al-Muhaditsin Fi Naqdi Matni Al-Hadits Al-Nabawiy Al-Syarif, (Tunisia: Muasassah Abdul Karim: 1986), hlm. 6.
[6] Louis Ma’lif, Al-Munjid Fi Al-Lughah  Wa Al-A’lam, (Bairut: Dar Al-Masyriq: 1986), hlm. 289.
[7] Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam, Jilid III, (Jakarta: CV Anda Utama: 1993), hlm. 1002.
[8] M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits, Angkasa, (Bandung: 1991), hlm. 61.
[9] Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadits, Raja Grafindo, (Jakarta: 1993), hlm. 24.
[10] Utang Ranuwijaya & Mundir Suparta, Ilmu Hadits, Raja Grafindo (Jakarta: 1993), hlm. 24.
[11] Muhammad Ash-Shabbag, Al-Hadits An-Nawawi; Musthalahul Balagotul Ulumul Kutub, Masyurat Al-Maktabah Al-Islami, (Riyad: 1972 M/1392 H), hlm. 13.
[12] Al-Bukhari, Muhammad bin Ismail, Shahih Al-Bukhari, (Bandung: Al-Ma’arif: tt), hlm. 20-21.
[13] Muhammad Ash-Shabbag, Al-Hadits An-Nawawi; Musthalahul Balagotul Ulumul Kutub, Masyurat Al-Maktabah Al-Islami, (Riyad: 1972 M/1392 H), hlm. 13.
[14] At-Tirmidzi, Manhaj Dzawi An-Nazhar, Dar Al-Fikri, (Bairut: 1974), hlm. 8.
[15] Muhammad Ajjaj Al-Khathab Ushul Al-Hadits, Ulumuh Wa Musthalahuh, Dar Al-Fikr, (Bairut: 1989 M/1409 H), hlm. 26-27.
[16] At-Tirmidzi, Manhaj Dzawi An-Nazhar.
[17] Nur Ad-Din Atar, Manhaj An-Naqli Fi Ulum Al-Hadits, Dar Al-Fikr, (Beirut: 1979), hlm. 27.
[18] Abu Al-Husain Muslim bin Al-Hajjaj Al-Qusyairi An-Naisaburi, Shahih Muslim Syarah An-Nawawi, Juz II, Mathaba’ah Al-Mishriyah, (Kairo: 1349), hlm. 705.
[19] Muhammad Sulaiman Al-Asyqar, Af’al Al-Rosul.
[20] Muhammad Ajjaj Al-Khathib, Al-Sunnah Qabla Al-Tadwin, (Bairut: Dar Al-Fikr, 1981), hlm. 18.
[21] Quraish Shihab, Kata Pengantar Studi Krisis atas Hadits Nabi, karya Mahmud Ghazali, (Bandung: Mizan: 1991), hlm. 10.
[22] Mahmud Salthut, Al-Islam Aqidah Wa Syari’ah, (Dar Al-Qalam, 1966), hlm. 508-509.
[23] Abbas Mutawali Hamadah, As-Sunnah An-Nabawiyah Wa Makanatuh Fi At-Tasyri’, Dar Al-Qauniyah, (Kairo: tt), hlm. 23.
[24] Muhammad Ajjaj Al-Khattab Ushul Al-Hadits, Ulumuh Wa Mustholahuh, hlm. 19.
[25] At-Turmudzi, Manhaj Dzawi An-Nazhar.
[26] Hasbi Ash-Shiddiqi, Ilmu Hadits, (Jakarta: PT. Bintang Ilmu: 1875), hlm. 20.
[27] At-Tirmidzi, Manhaj Dzawi An-Nazhar.
[28] At-Tirmidzi, Manhaj Dzawi An-Nazhar, Dar Al-Fikri.
[29] At-Tirmidzi, Manhaj Dzawi An-Nazhar.
[30] Al-Qasimi, Muhammad Jamaluddin, Qawa’id Al-Tahdis Min Funun Musthalah Al-Hadits, Tahqiq: Muhammad Mahjah Al-Bithar, (Mesir: Mathba’ah Musthofa Al-Babi Halabi, Cet. II, 1961), hlm. 35.
[31] Buthrus Al-Bustany, Kitab Qurthur (ttp): Maktabah Libnan (tth): Jilid I, hlm. 820-821. Lihat Louis Ma’luf, Al-Munjid Fi Al-Lughah Wa Al-A’lam, (Bairut: Dar Al-Masyriq, 1981), hlm. 289.
[32] Poerwodarminto WJS., Kamus Bahasa Indonesia Lengkap, (Jakarta: Balai Pustaka, 1968), hlm. 338. Lihat Hasan Syadliliy, Ensiklopedi Indonesia, Jilid II, (Jakarta: Ichtiyar Baru Van Hoeve, tth.), hlm. 1198.
[33] Al-Suyuthi, Jalaluddin, Al-Tadrib Al-Rawiy Syarkh Taqrib Al-Nawawiy, (Mesir: Maktabah Dar Al-Hadits, 2002), hlm. 26.
[34] Jalal Al-Din Abdurrahman bin Abiy Bakr Al-Suyuthi, Tadrib Al-Rawiy Fiy Syarkh Al-Nawawy, (Bairut: Dar Ihya’ Al-Sunnah Al-Nabawiyah, 1399 H/ 1979 H). hlm. 188.
[35] Shubhi Shalah,Ulumul Hadits Wa Musthalahuhu, (Bairut: Maktabah Dar Al-Ilm Al-Malayuni, 1977), hlm. 107.
[36] Al-Tirmasyi, Muhammad Mahfudz Bin Abdillah, Manhaj Dzawi Al-Nadhar, (Jiddah: Maktabah Al-Haramain, Cet 3, 1974), hlm. 8.
[37] Syuhudi Ismail, M., Metode Penelitian Hadits  Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, Cet. I, 1992), hlm. 43.
[38] Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadits, (Jakarta: PT. Gaya Media Pratama, Cet. I, 1996), hlm. 95.
[39] Nuruddin ‘Ithir, Al-Imam Tirmidzi, (Mesir: Lajnah Ta’lif Wa Tarjamah Wa Al-Nasyr, 1970), hlm. 70.
[40] Ibid,
[41] Ibid,
[42] Imam Muslim, Shahih Muslim, Juz I, (Surabaya: Maktabah Wa Mathba’ah Ahmad Nabhan Wa Auladihi, Juz I), hlm. 9.
[43] Al-Thahan, Tafsir Musthalah Al-Hadits, (Surabaya: Maktabah Al-Hidayah, tth), hlm. 16.
[44] Al-Thahan, Ibid.
[45] Muhammad Al-Ajjaj Al-Khathib, Ushul Al-Hadits, Ulumuhu Wa Musthalahuhu, (Bairut: Dar Al-Fikr, Cet. 4, 1981), hlm. 17.
[46] Al-Zarqawi Muhammad, Syarkh Al-Zarqawi Ala Al-Baquni, (Kairo: Maktabah Musthofa Al-Babi Al-Halabi, 1994), hlm. 9.
[47] Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadits, (Jakarta: PT. Gaya Media Pratama, Cet. I, 1996), hlm. 92.
[48] Muhammad Al-Ajjaj Al-Khathib, Sunnah Qabla Tadwin, (Bairut: Libanon, Dar Al-Fikr Al-Arabiyyah, 1990), hlm. 223.
[49] Imam Muslim, Shahih Muslim, Juz I, (Surabaya: Maktabah Wa Mathba’ah Ahmad Nabhan Wa Auladihi, Juz I), hlm. 9.
[50] Al-Mubarok Furi, Tukhfah Al-Ahwazi, Juz I, (Madinah: Al-Ajalah Al-Jadidah Maktabah Al-Salafiyah, 1964), hlm. 8.
[51] Muhammad Jamaluddin Al-Qasami, Qawa’id Al-Tahdits Min Funun Musthalah Al-Hadits, Tahqiq Muhammad Mahjah Al-Bithar (Mesir: Matha’ah Mushthafa Al-Babi Al-Halabi, Cet. II, 1961), hlm. 35.
[52] Ibnu Manzhur, Lisan Al-Arab, (Mesir: Dar Al-Misriyah, tt), hlm. 249.
[53] Mahmud At-Thahhan, Ushul At-Takhrij Wa Dirasah Al-Asanid, (Riyadh: Maktabah Ar-Rusyd, 1983), hlm. 3.
[54] As-Sakhawai, Fath Al-Mugits Syarh Alfiyah Al-Hadits, Juz I, (Bairut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1983), hlm. 106.
[55] Mahmud Thahhan, Ushul, Op, Cit. hlm. 12.
[56] Abu Muhammad Abdul Mahdi, Thuruq Takhrij Hadits Rasulillah SAW (Dar Al-I’tisham, tth.), hlm. 11.
[57] Ibnu Ash-Shalah, Op, Cit. hlm. 228-229.
[58] Abu Abdullah Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari, Al-Jami’al Shahih, (Bairut: Dar Al-Fikr, Juz IV, tt.), hlm. 256.
[59] Shahih Al-Bukhari, Juz II, hlm. 174 dan Shahih Muslim, Juz III, hlm. 1361-1362.
[60] Shahih Al-Bukhari, Juz IV, hlm. 240, Shahih Muslim, Juz III, hlm. 1584-1588, dan Sunan Abi Dawud, Juz III, (Bairut: Dar Al-Fikr, tt.), hlm. 327.
[61] Shahih Al-Bukhari, Juz II, hlm. 243 dan Shahih Muslim, Juz II, hlm. 1361-1368.
[62] Shahih Al-Bukhari, Juz I, hlm. 265 dan Shahih Muslim, Juz II, hlm. 983-984.
[63] Shahih Muslim Juz I, hlm. 265, Sunan Turmudzi, Juz II, hlm. 153 dan Sunan Ibnu Majah, Juz II, hlm. 965.
[64] Shahih Muslim, Juz IV, hlm. 2247 dan Musnad Ahmad, Jilid II, hlm. 33 & 37.